IDENTITAS
Nama : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM : 72154060
Prodi/Sem : Sistem
Informasi/3
Fakultas :
Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu :
Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
TEMA : Integrasi Tasawuf dan Sains
BUKU 1 : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku : Ja’far,
(Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Integrasi
dalam Sejarah Islam
Sub 2 : Integrasi
dalam Ranah Ontologi
Sub 3 : Integrasi
dalam Ranah Epistemologi
Sub 4 : Integrasi
dalam Ranah Aksiologi
Kesimpulan
-
Integrasi
dalam Sejarah Islam
Menurut Ja’far (102:2016), Dalam sejarah intelektual
Islam Klasik, budaya integrasi keilmuan telah dikenal dan dikembangkan dengan
canggih. Dalam sejarah Islam, ditemukan seorang ahli astronomi, ahli biologi,
ahli matematika, dan ahli arsitektur yang mumpuni dalma bidang ilmu-ilmu
keislaman seperti tauhid, fikih, tafsir, hadis, dan tasawuf. Meskipun
berprofesi sebagai saintis dalam bidang ilmu-ilmu kealaman, para pemikir Muslim
klasik menempuh pola hidup sufistik, dan kajian-kajian ilmiah mereka diarahkan
kepada pencapaian tujuan-tujuan reigius dan spiritual.
Para filsuf dari mazhab Peripatetik merupakan
pemikir Muslim yang berhasil mengintegrasikan filsafat Yunani dengan ajaran
Islam yang bersumber kepada Alquran dan hadis, lantaran tema-tema filsafat
Yunani diislamisasikan dan disesuaikan dengan paradigma Islam. Tidak sebatas
integrasi belaka, mereka malah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu yang
terdiri dari ilmu-ilmu rasional dan ilmu-ilmu kewahyuan, sehingga integrasi
menjadi sangat mudah dilakukan. Al-Razi (w. 925) adalah ahli dalam bidang
filsafat, kimia, matematika, sastra, dan kedokteran. Al-Ghazali (w. 1111)
adalah seorang teolog, filsuf, dan sufi. Umar Khayyam (w. 1131) adalah
matematikawan, astronom, dan sufi. Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209) dikenal
sebagai ahli filsafat, tasawuf, kedokteran, tafsir, dan fikih. Di antara
prestasi besar mereka sebagai ilmuwan Muslim adalah kemampuan mereka menguasai
dan mengintegrasikan ilmu-ilmu rasional, ilmu-ilmu empirik, dan ilmu-ilmu
kewahyuan. Secara keilmuan, mereka menguasai banyak disiplin ilmu, dan secara
personal mereka berperan sebagai saintis Muslim yang berpola hidup religius dan
sufistik.
Selain dari mazhab Peripatetik, sejarah Islam
menyebutkan keberadaan para filsuf dari mazhab Isyraqiyah dan mazhab Hikmah
al-Muta’aliyah yang sukses mengitegrasikan ilmu-ilmu rasional dengan
ilmu-ilmu kewahyuan. Di antara mereka adalah Suhrawardi (w. 1191) yang dikenal
ahli filsafat, tasawuf, Zoroastrianisme, dan Platonisme. Baha’ al-Din Amili (w.
1621) merupakan seorang fakih, ahli hadis, filsuf, matematikawan, dan arsitek.
Dengan demikian, integrasi ilmu dalam Islam bukan
hal yang baru. Meskipun mereka seorang filsuf dan saintis, perilaku hidup
mereka merupakan realisasi terhadap teori mereka mengenai filsfat dan sufisme.
Dapat disimpulkan bahwa mereka sukses mengitegrasikan antara dua jenis ilmu
tersebut, dan mengintegrasikan keduanya dengan keyakinan dan perilaku hidup
mereka sehari-hari.
-
Integrasi
dalam Ranah Ontologi
Menurut Ja’far (105:2016), Istilah ontologi berasal
dari bahasa Yunani, ont yang bermakna
keberadaan, dan logos yang bermakna
teori, sedangkan dalam bahasa Latin disebut ontologia,
sehingga ontologi bermakna teori keberadaan sebagaimana ilmu tentang esensi
segala sesuatu. Dengan demikian, ontologi adalah ilmu tentang teori keberadaan,
dan istilah ontologi ditujukan kepada pembahasan tentang objek kajian ilmu.
Berbeda dari saintis Barat sekuler, para filsuf
Muslim dan sufi berpendapat bahwa ada hubungan erat antara alam dengan Allah
Swt. Menurut Ibn ‘Arabi (w. 1240), alam diciptakan Allah Swt. melalui proses tajalli (penampakan diri)-Nya pada alam
empiris yang majemuk. Tajalli Allah Swt. mengambil dua bentuk: tajalli dzati dalam bentuk penciptaan
potensi; dan tajalli syuhudi dalam
bentuk penampakan diri dalam citra alam semesta. Teori Ibn ‘Arabi tentang alam
didasari oleh doktrinnya tentang kesatuan wujud (wahdat al-wujud) dan tajalli.
Dari perspektif Ibn ‘Arabi, alam merupakan manifestasi sifat-sifat Allah Swt.
dan cermin bagi-Nya. Saintis Muslim sebagai peneliti alam empirik (terutama
dunia mineral, tumbuhan, binatang, dan manusia) harus menyadari bahwa alam merupakan
tanda-tanda keberadaan dan kekuasaan-Nya, sehingga penelitian terhadap alam
diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh keimanan terhadap-Nya, bukan
menjauhkan manusia dari-Nya sebagaimana ditemukan dalam banyak teori
ilmuwan-ilmuwan Barat sekular.
-
Integrasi
dalam Ranah Epistemologi
Menurut Ja’far (107:2016), Istilah epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, episteme
yang bermakna pengetahuan, dan logos
yang bermakna ilmuatau eksplanasi, sehingga epistemologi berarti teori
pengetahuan. Epistemologi dimaknai sebagai cabang filsafat yang membahas
pengetahuan dan pembenaran, dan kajian pokok epistemologi adalah makna
pengetahuan, dan hal-hal yang dapat diketahui. Runes menjelaskan bahwa
epistemologi adalah cabang filsafat yang menelusuri asal [sumber], struktur,
metode, dan validitas ilmu pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi adalah
ilmu tentang cara mendapatkan ilmu.
Kajian-kajian ilmu-ilmu alam mengandalkan metode
observasi dan eksperimen yang disebut dalam epitemologi Islam sebagai metode tajribi, sedangkan kajian tasawuf
mengandalkan metode ‘irfani yang
biasa disebut metode tazkiyah al-nafs.
Dari perspektif Islam, kesucian jiwa manusia menjadi syarat utama untuk
memperoleh ilmu secara langsung dari sumber asalnya, yaitu Allah Swt. yang
diketahui memiliki sifat al-‘Alim.
-
Integrasi
dalam Ranah Aksiologi
Menurut Ja’far (109:2016),
Istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani, axios yang bermakna nilai, dan logos
yang berarti teori. Aksiologi bermakna teori nilai, invetigasi terhadap asal,
kriteria, dan status metafisik dari nilai tersebut. Menurut Bunnin dan Yu, aksiologi
adalah studi umum tentang nilai dan penilaian, termasuk makna, karakteristik,
dan klasifikasi nilai, serta dasar dan karakter pertimbangan nilai. Sebab itu,
aksiologi disebut dengan teori nilai. Aksiologi juga dimaknai sebagai studi
tentang manfaat akhir dari segala sesuatu. Jadi, aksiologi membahas tentang
nilai kegunaan ilmu, tujuan pencarian dan pengembangan ilmu, kaitan antara
penggunaan dan pengembangan ilmu dengan kaedah moral, serta tanggung jawab
sosial ilmuwan. Kajian aksiologi lebih ditujukan kepada pembahasan manfaat dan
kegunaan ilmu, dan etika akademik ilmuwan.
Dari aspek etika akademik,
nilai-nilai luhur tasawus dapat menjadi landasan etis seorang ilmuwan dalam
pengembangan sains dan teknologi. Konsep al-maqamat
dan al-ahwal dapat menjadi semacam
etika profesi seorang saintis Muslim, sebagaimana ilmuwan Muslim klasik, harus
menampilkan kehidupan sufistik seperti sikap zuhud, warak, sabar, tawakkal,
cinta, fakir, dan ridha dalam menjalankan kegiatan akademik maupun dalam kehidupan
sosialnya. Dengan demikian, saintis Muslim masa depan dituntut untuk mengail
kearifan dalam ajaran tasawuf, dan dapat menginternalisasikannya dlam kehidupan
akademik dan sosialnya.
-
Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruh
penjelasan di atas ialah bahwa ilmu
rasional dengan ilmu-ilmu keislaman sangat berkaitan erat dan itu dituangkan
dalam BAB 4 yaitu integrasi tasawuf dalam segala aspek.
PERBANDINGAN :
Dari buku yang telah di jelaskan diatas yaitu
buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa buku “Gerbang
Tasawuf” lebih banyak menjelaskan tentang konsep menjadi saintis ilmuwan muslim
dengan menggunakan konsep sufistik, al – maqamat dan al – ahwal , menjelaskan
integrasi dalam segala ranah. Menurut saya buku
bapak ja’far sangat lengkap dalam menjabarkan Integrasi Tasawuf dengan
Sains.