IDENTITAS
Nama : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM : 72154060
Prodi/Sem : Sistem
Informasi/3
Fakultas :
Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi :
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu :
Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
TEMA : Cinta (al-mahabbah),
Rida (al-ridha), Al-Maqam Lainnya
BUKU 1 : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku : Ja’far,
(Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Cinta (al-mahabbah)
Sub 2 : Rida (al-ridha)
Sub 3 : Al-Maqam Lainnya
Kesimpulan
-
Cinta (al-mahabbah)
Menurut Ja’far (78:2016), Menurut al-Ghazali, al-mahabbah adalah al-maqam sebelum rida. Kaum sufi mendasari ajaran mereka tentang
cinta dengan Alquran, hadis, dan atsar.
Kata cinta disebut Alquran secara berulang kali, meskipun tidak hanya dalam
makna cinta kepada Allah Swt. Kata hub
disebut Alquran sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk kata, antara lain hubb dan yuhibbu, sedangkan dalam kata al-mahabbah
tidak digunakan Alquran.
Sedangkan makna al-mahabbah
dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid al-Baghdadi,
misalnya, berkata “cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat
yang mencintai.” Muhammad bin ‘Ali al-Kattani berkata “cinta mengutamakan yang
dicintai.” Muhammad bin al-Fadhal al-Farawi berkata “cinta itu adalah runtuhnya
semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih.”
Tanda cinta kepada Allah Swt adalah senantiasa
berzikir kepada Allah; gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat
kepada-Nya seperti membaca Alquran dan tahajud; merasa rugi bila melewatkan
waktu tanpa menyebut nama-Nya; dan menyayangi semua hamba Allah, mengasihi
mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-musuh-Nya. Jabaran diatas iala menurut
Ibn Qudamah. Jika menurut al-Ghazali, mengutip pendapat Yahya bin Mu’az,
indikator seorang hamba mencintai Allah Swt adalah mengutamakan perkataan Allah
daripada perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan allah daripada bertemu
dengan makhluk, dan mengutamakan ibadah kepada Allah Swt daripada melayani
manusia.
-
Rida (al-ridha)
Menurut Ja’far (80:2016), Kata rida berasal dari
kata radhiya, yardha, ridhwanan yang
artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, memilih, menyenangkan, dan
menerima.” Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati,
perkenan, dan rahmat.” Penyebutan istilah rida secara berulang kali dan dalam
berbagai bentuk di dalam Alquran mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Islam
menilai penting maqam rida.
Para sufi telah memberikan penegasan mengenai arti
dari maqam terakhir yang mungkin
dicapai oleh kaum sufi sebagaimana dijelaskan oleh sufi-sufi dari mazhab Sunni.
Di antara mereka, Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati
dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala
dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.” Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam: rida
Allah terhadap hambanya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida Allah terhadap
hamba-Nya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya,
sedangkan rida hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan
tunduk atas segala hukum-Nya.”
Abu Umar al-Dimsyaqi berkata, “rida adalah
meninggalkan keluh kesah ketika hukum telah diberlakukan.” Ruwaim berkata “rida
adalah menerima hukum dengan senang hati.” Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, rida
memiliki dua derajat: rida kepada Allah Swt. sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya; dan rida terhadap qada
dan qadar Allah Swt. Menurut Ibn Qudamah, makna rida adalah seorang hamba
menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia; dan
rida atas penderitaan, karena di balik penderitaan ada pahala apalagi
penderitaan itu berasal dari Allah Swt. sebagai Kekasihnya.
-
Al-Maqam
Lainnya
Menurut Ja’far (84:2016), Sebagian sufi menilai
bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik
masih dapat mencapai maqam seperti
makrifat (al-ma’rifah), dan
menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa
sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas
sifat-sifat yang dikemukakan-Nya; dan ma’rifat
haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana
apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat
dipahami.
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari
istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt. dengan
nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt. dengan melaksanakan ajaran-Nya
dalam segala perbuatan... [makrifat adalah] pengosongan diri untuk selalu
mengingat Allah Swt., tidak menyaksikan selain menyaksikan-Nya, dan tidak
kembali kepada selain-Nya.”
Tingkat makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl al-hudhur yang menyaksikan-Nya
secara langsung [dengan hati]. Bagi sebagian sufi, makrifat lebih tinggi dari
rida. Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abu Yazid al-Bistami memiliki
ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn’
Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud
yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra. Ketiga teori ini memang
mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog Sunni, tetapi diterima oleh
mayoritas fukana Syiah.
-
Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya
ialah cinta adalah maqam sebelum rida, dasar ajaran dari kaum sufi tentang
cinta ialah al-qur’an, hadis, dan atsar. Cinta juga disebut dalam Alquran
secara berulang kali. Walaupun tidak dalam makna cinta saja. Makna mahabbah
dalam tasawuf menurut sufi Muhammad bin ‘Ali al-Kattani ialah “cinta mengutamakan
yang dicintai.” Tanda cinta kepada Allah ialah dengan berzikir kepada-Nya,
senang mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada Allah seperti membaca
al-qur’an dan tahajud.
Lalu, rida menurut Ibn Khatib
adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian
hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala. Rida terbagi menjadi 2, yaitu
rida Allah terhadap hamba-Nya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida memiliki
2 derajat, rida kepada Allah Swt sebagai Rabb, dan membenci beribadah kepada
selain-Nya dan rida terhadap qada dan qadar Allah Swt.
Sedangkan al-maqamat lainnya
ialah makrifat, sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida,
seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat dan menegaskan bahwa
rida bukan maqam tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi
makrifat menjadi 2, yaitu al-ma’rifat haq
dan ma’rifat haqiqah.
BUKU 2 :
AKHLAK TASAWUF Pengenalan,
Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi) (Buku Pembanding)
Identitas Buku : Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A. , Dra. Hj. Rayani
Hanum Siregar, M.H., (Jakarta Pers, 2015)
Sub
1 : Rela (Ridha)
Sub 2 : Mahabah
Sub 3 : Maqam
Kesimpulan
-
Rela (Ridha)
Menurut Ahmad
Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (50:2015), Rela (ridha) berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa
yang dianugerahkan Allah Swt. Orang yang rela mampu menerima dan melihat hikmah
dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah Swt. dan tidak berburuk sangka
terhadap ketentuannya.
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia
berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah Swt dan Rasul-Nya.
Sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa
pun yang disukai Allah Swt.
-
Mahabah
Menurut Ahmad
Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (57:2015), Mahabah secara
literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Mahabah berasal dari kata hibbah, yang berati benih yang jatuh ke
bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber
tanaman.
Dalam perspektif tasawuf, mahabah bisa ditelusuri maknanya menurut pandangan para sufi.
Menurut Al-Junaid, cinta adalah kecendrungan hati. Yakni hati cenderung kepada
Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut
pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainya. Ali
al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan
apa-apa yang datang dari yang dikasihinya.
-
Maqam Lainya
(Makrifat)
Menurut Ahmad
Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar
(79:2015), Makrifat adalah ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan tentang
syariat dengan kesediannya menempuh jalan (thariqat)
dalam mencapai hakikat, itulah yang disebut dengan makrifat. Jadi, makrifat
adalah pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan ibadat dalam dunia tasawuf yang
dimaksud dengan makrifat adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati dan
jalan pencapaian sistematik.
-
Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruh
penjelasan di atas ialah Rida
adalah menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Swt. Ridha
mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai llah Swt
dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya
dengan cara apa pun yang disukai Allah Swt.
Beralih ke cinta atau mahabah, cinta itu seperti
benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana
benih menjadi sumber tanaman. Menurut Al-Junaid, cinta adalah kecendrungan
hati. Sedangkan makrifat adalah pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan ibadat
dalam dunia tasawuf yang dimaksud dengan makrifat adalah pengetahuan mengenai
Tuhan melalui hati dan jalan pencapaian sistematik.
PERBANDINGAN :
Dari kedua buku yang telah di jelaskan diatas
yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa cinta itu adalah
runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih, cinta itu juga maqam
dalam ilmu tasawuf sebelum maqam ridha,
di buku pak ja’far di jabarkan makna cinta kepada Allah secara lengkap begitu
juga dengan ridha, ridha itu ialah menerima segalanya dengan senang hati tanpa
ragu-ragu. Rida juga memiliki derajat dan memiliki macam-macamnya , di dalam
buku pak ja’far telah diuraikan. Begitu juga dengan makrifat, sebagian sufi
menilai setelah mencapai maqam rida, salik bisa mencapai maqam makrifat.
Makrifat ialah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Swt, tidak
menyaksikan-Nya dan tidak kembali kepada selain-Nya.
Sedangkan pada buku pembanding (yang kedua) karangan Ahmad Bangun Nasution dan Rayani
Hanum Siregar menjelaskan
bahwa Cinta itu menurut pemuka sufi adalah mengabdikan diri kepada yang
dicintainya. Tidak ada penjelasan lain mengenai mahabah (cinta) dibuku kedua
ini karna jabaran mengenai cinta sangatlah sedikit, berbanding terbalik dengan
buku pak Ja’far. Sedangkan ridha itu menerima dengan rasa puas terhadap apa
yang dianugerahkan Allah Swt. dan Makrifat ialah maqam lainnya yang ada di buku
ini, makrifat ialah, pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati dan jalan
pencapaian sistematik. Bisa kita lihat perbedaan dalam kedua buku ini ialah
buku utama lebih lengkap daripada buku pembanding, mulai dari segi pengertian,
sampai penjelasan para sufi terkait cinta, ridha, dan maqam lainnya (makrifat).