Minggu, 25 Desember 2016

Muraqabah dan Al-Khauf (BAB 3) -RESUME-

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                            : 72154060
Prodi/Sem                   : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf

TEMA                        : Mengenal al-Ahwal: Muraqabah dan Khauf
BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku           : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Al-Muraqabah
Sub 2 : Takut (al-khauf)
Kesimpulan

-          Al-Muraqabah
Menurut Ja’far (85:2016), Ajaran muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Kata al-muraqabah memang tidak digunakan Alquran, Menurut al-Qusyairi, muraqabah didasari oleh Q.S. al-Ahzab/33:52, serta hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai al-iman. Al-islam dan al-ihsan, di mana makna al-ihsan (fa’illam takun tarahu fa innahu yaraka) merupakan isyarat dari muraqabah yang merupakan ilmu hamba untuk melihat Allah Swt., dan hati meyakini bahwa Allah Swt. Maha Pengawas, mengetahui keadaannya, melihat perbuatannya, dan mendengar ucapannya.
Dengan demikian, seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan membenci dan tidak akan ingin melakukan perbuatan maksiat dan dosa.


-          Takut (al-khauf)
Menurut Ja’far (86:2016), Hakikat takut (al-khauf) dijelaskan secara berulang kali dalam Alquran, dan dapat ditemukan dalam hadis dan atsar.Hakikat al-khauf dapat ditemukan
dalam Q.S. al-Fathir/35:28; Q.S. al-Bayyinah/98:8; Q.S. Ali Imran/3:175, Q.S. al-A’la/87:10, Q.S. al-Rahman/55:46; dan Q.S. al-Sajdah/32:16.
Para sufi telah membicarakan masalah takut (al-khauf) dalam karya-karya mereka. Menurut al-Qusyairi, “makna takut kepada Allah Swt. adalah takut kepada siksaan-Nya, baik di dunia maupun akhirat.” Abu al-Qashim al-Hakim mengatakan, “khauf memiliki dua bentuk : rahbah yakni orang yang berlindung kepada Allah Swt; dan khasyyah yakni orang yang ditarik kendali ilmu dan melaksanakan kebenaran.”
Berdasarkan pendapat mereka, al-khauf berarti seorang hamba hanya takut kepada Allah Swt., dan tidak takut kepada selain-Nya. Takut kepada Allah Swt, adalah takut atas siksaan-Nya, sehingga seorang hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.


-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya ialah muraqabah merupakan salah satu bentuk dari al-ahwal. Dasar dari muraqabah ialah Q.S. al-Ahzab/33:52. Jika seorang hamba mempunyai sifat muraqabah, yakni keyakinan seorang hamba bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah Swt. dalam aktivitasnya, maka ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan tidak akan melakukan perbuatan maksiat dan dosa. Sedangkan hakikat takut sudah dijelaskan secara berulang kali dalam al-qur’an, hadist dan atsar. Khauf ialah ketakutan seorang hamba yang hanya takut kepada Allah Swt. dan tidak takut kepada selain-Nya. Takut kepada Allah Swt, adalah takut atas siksaan-Nya, sehingga seorang hamba akan melaksanakan semua perintah dan menjauhi segala larangan-Nya.


BUKU 2                     : Gerbang Tasawuf (Buku Pembanding)
Identitas Buku           : Prof. Dr. M. Solihin M.Ag, (Pustaka Setia, 2008)
Sub 1 : Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Sub 2 : Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Kesimpulan



-          Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Menurut Solihin (83-84:2008), Waspada dan mawas diri merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
Adapun mawas diri (muraqabah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang kehendaki-Nya.


-          Berharap dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Menurut Solihin (84-86:2008), Bagi kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya
b. Takut harapannya itu hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah untuk menggiring hamba-hamba-Nya menuju ilmu dan amal, supaya dengan keduanya itu, mereka dapat dekat kepada Allah. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, yang akan menimpa diri pada masa yang akan datang. Khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
Khauf dan raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya putus asa dan pesimis.
.

-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruh penjelasan di atas ialah waspada dan mawas diri ialah dua hal yang berkaitan erat. Mawas diri ialah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang kehendaki-Nya. Sedangkan khauf dan raja’ berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Khauf itu adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakuti, khauf dapat mencegah hamba berbuat maksiat dan mendorongnya untuk senantiasa berada dalam ketaatan.
PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di jelaskan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far , di buku ini dijelaskan bahwa muraqabah adalah salah satu bentuk dari al-ahwal yang dimana dibuku pembanding tidak dijelaskan atau dipaparkan . dasar dari muraqabah juga dipaparkan yaitu Q.S. al-Ahzab/33:25. sedangkan pada buku pembanding tidak di paparkan. Dalam pengertian khauf, kedua buku ini memiliki perbedaan, tetapi tujuan dan maknanya sama. Yaitu takut kepada Allah Swt dan senantiasa berada dalam  ketaatan.



Jumat, 23 Desember 2016

Biografi Sufi : Ibn Arabi (RESUME)

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                            : 72154060
Prodi/Sem                   : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf

TEMA                        : Biografi Sufi : Ibn Arabi

BUKU                        : AKHLAK TASAWUF Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi)
Identitas Buku           : Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A. , Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., (Jakarta Pers, 2015)


-          Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibn Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Ahmad bin ‘Abdullah ath-Tha’i al Haitami. Beliau lahir pada tahun 560 H. (1163 M) di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol. Beliau lahir dari keluarga berpangkat, hartawan, dan ilmuwan.
Ibunya adalah Nurul Anshariyah. Ayah Ibn Arabi, ‘Ali, adalah pegawai Muhammad ibn Sa’id ibn Mardanisy, penguasa Murcia, Spanyol. Ketika Ibn Arabi berusia tujuh tahun, Murcia ditaklukan oleh Dinasti al-Muwahiddun (al-Mohad) sehingga Ali membawa pergi keluarganya ke Sevilla. Di tempat itu, sekali lagi dirinya menjadi pegawai pemerintahan. Ia memiliki status sosial yang tinggi.
Pada usia 8 tahun, keluarganya pindah ke Sevilla di mana Ibn Arabi belajar Al-Qur’an, Al-Hadis dan fikih pada sejumlah murid faqih terkenal di Andalusia, Ibnu Hazm al-Zhahri. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gaus al-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syria, Irak, Mesir, dan pada akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya. Pada tahun 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia. Maka di kota baru ini, terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibn Arabi. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fiqih, dan sastra. Karena itu kelak, selain sebagai filsuf sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai ahli tafsir, hadis, fikih, sastra, dan filsafat, bahkan astrolog dan kosmolog.
Pada masa mudanya Ibn Arabi bekerja sebagai sekretaris Gubernur Sevilla dan menikahi seorang gadis bernama Maryam, yang berasal dari sebuah keluarga berpengaruh. Pada tahun 590 H, Ibn Arabi meninggalkan Spanyol untuk mengunjungi Tunisia. Tahun 597 H\1200 M, sebuah ilham spiritual memerintahkan dirinya untuk pergi ke timur. Dua tahun kemudian, ia melakukan ibadah haji ke Mekkah dan berkenalan dengan seorang syaikh dari Isfahan yang memiliki seorang putri. Pertemuan dengan perempuan ini mengilhami Ibn Arabi untuk menyusun Tarjuman al-Asywaq. Di Makkah pula ia berjumpa dengan Majd al-Din Ishaq, seorang syaikh dari Malatya, yang kelak akan mempunyai seorang putra yang menjadi murid terbesar Ibn Arabi, Shadr al-Din al-Qunawi. (Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar, 2015 : 141-142)

-          Bidang Pendidikan
Ibn Arabi lahir tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga berilmu pengetahuan yang memadai. Kasih sayang dan tunjuk ajar secara langsung yang diterimanya dalam keluarga, telah menyemaikan benih-benih yang siap tumbuh dan berkembang. Dengan demikian, secara non formal, keluarga terutama ayahnya telah memberikan dasar-dasar pendidikan pada beliau, yang siap untuk dikembangkan dan ditindaklanjuti lebih arif.
Ibn Arabi memulai pendidikan dasarnya dengan memfokuskan pada bacaan Al-Qur’an dan ilmu qira’at. Pendidikan ini dijalani dengan tekun dan penuh semangat serta diperoleh dari beberapa orang guru, di antaranya adalah Abu Hasan bin Muhammad al-Ra’ini dan Qasim Abd Rahman al-Qurtubi serta Abu Bakar Muhammad bin Khalaf al-Lakhmi. Baginya belajar kepada beberapa orang guru adalah untuk memantapkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya, sehingga melekat di dalam dada. Selain bidang tersebut beliau tidak lupa mempelajari hadis, fikih, bahkan sastra. Ilmu-ilmu ini juga diperoleh dari beberapa orang gurunya seperti Ibn Zaqrun, Abu al-Qasim Jamal al-Din al-Harsatani, Abu Muhammad Abd al-Haq ‘Asyibili dan Abu Bakar Muhammad al-Jad.
Pada tahun 580 H dimulailah perjalanan Ibn Arabi tahap awal dengan menelusuri ke segenap pelosok Andalusia. Selama kurang lebih 10 tahun beliau mengembara berpindah dari satu tempat ke tempat lain menjelajahi berbagai sudut Andalusia, hinggalah tahun 590 H barulah beliau mengakhiri petualangannya di daerah ini. Selama dalam pengembaraannya berbagai ilmu dan pengalaman telah dimiliki, perjalanan yang penuh berkesan ini semakin memantapkan semangatnya untuk terus menelusuri lorong-lorong ilmu. (Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar, 2015 : 142-144)

-          Buah Karya Ibn Arabi
Sekalipun Ibn Arabi dikenal sebagai seorang yang mapan dalam bidang tasawuf, tidak berarti beliau hanya menguasai ilmu tasawuf saja, bahkan berbagai ilmu pengetahuan lain beliau kuasai secara mendalam. Selain ahli dalam bidang tasawuf beliau alim pula dalam bidang atsar, begitu pula dalam bidang hadis, bahkan beliau merupakan seorang penyair dan seorang sastrawan.
Di antara bukunya yang terkenal adalah Al-Futuhat al-Makkiyah dan Fushush al-Hikam. Menurut Ibn Arabi bahwa kitab Futuhat al-Makkiyah adalah imla’ dari Tuhan sedangkan Fushush al-Hikam adalah pemberian Rasulullah Saw. Muhammad Yusuf Musa mengatakan bahwa kedua kitab Ibn Arabi ini adalah dua sumber utama bagi siapa saja yang mau mempelajari tasawuf Ibn Arabi.
Cukup banyak hasil karya Ibn Arabi, di antara karya utamanya adalah al-Futuhat al-Makkiyah yang mengandung 560 bab. Kitab ini disusun dengan memakan waktu yang cukup lama, mulai ditulis pada tahun 599 H dan baru dapat diselesaikan setelah beliau tinggal dan menetap di Damsik (620H-638H). Isi kandungan kitab ini pada umumnya memperbincangkan prinsip-prinsip metafisik serta berbagai permasalahan tasawuf di samping berbagai pengalaman religius yang dialami Ibn Arabi.
Kitab Fusus al-Hikam juga merupakan buah karya Ibn Arabi yang cukup dikenal, kitab ini selesai ditulis pada tahun 628 H, ketika beliau berada di Damsik. Sekalipun kitab ini tidak setebal kitab al-Futuhat al-Makkiyah, namun dianggap sebagai puncak kematangan Ibn Arabi dalam bidang penulisan. Di dalam kitab ini terkandung kesempurnaan alirannya yang telah dibincangkan dalam tulisan-tulisannya yang lain. Sama halnya dengan kitab al-Futuhat al-Makkiyah, kitab Fusus al-Hikam ini juga disiapkan di Damsyiq sekitar tahun 628 H.
Secara kronologis, berikut ini adalah beberapa daftar karya-karya Ibn Arabi:
1. Kitab Al-Isra’ (The Book of Night Journey). Written in Fez, 594 H/1198 M.
2. Mawaqi al-Nujum (Settings of the Stars). Written in Almeria, 595 H/1199 M.
3. Mishkat al-Anwar (The Niches of Lights). Written in Mecca, 599 H/1202 M.
4. Hilyat al-Abdal (the Adornment of the Substitutes). Written in Taif, 599 H/1203 M.
5. Taj al-Rasail (The Crown of Epistles). Written in Mecca, 600 H/1203 M.
6. Kitab al-Alif, Kitab al-Ba’, Kitab al-Ya. Written in Yerusalem, 601 H/1204 M.
7. Fusus al-Hikam (Vessels of Wisdom). Damascus, 627 H/1229 M.
8. Al-Futuhat al-Makkiyah (Meccan Illuminations), Mecca, 1202-1231 (629) (Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar, 2015 : 144-145)

-          Ajaran Ibn Arabi
Di antara ajaran terpenting dari Ibn Arabi adalah wadhat al-wujud, yaitu bahwa paham manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu kesatuan wujud. Menurut paham ini bahwa setiap sesuatu yang ada memiliki dua aspek, yaitu aspek luar dan aspek dalam. Aspek luar disebut makhluk (al-khalaq). Aspek dalam disebut Tuhan (al-haqq). Menurut paham ini, aspek yang sebenarnya adalah aspek dalam (Tuhan) sedangkan aspek luar hanyalah bayangan dari aspek dalam tersebut. Allah adalah hakikat alam sedangkan alam ini hanyalah bayangan dari wujud Tuhan. Karena itu menurut paham ini tidak ada perbedaan antara makhluk dengan Tuhan. Perbedaan hanya rupa dan ragam, sedangkan hakikatnya sama. Paham wahfat al-wujud Ibn Arabi, misalnya, dapat dilihat dari perkataan berikut.
“Maha suci Tuhan yang telah menzahirkan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat (ain) dari segala sesuatu itu”
Ibn Arabi di dalam syairnya juga mengatakan:
“Hamba adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba. Demi persaanku, siapakah yang mukallaf. Jika engkau katakan hamba, padahal dia (pada hakikatnya) Tuhan juga. Atau engkau katakan Tuhan, lalu siapa yang dibebani taqlif”.
Ungkapan ini berarti bahwa tidak ada perbedaan antara hamba dan Tuhan. Perbedaan hanyalah pada ragam dalam penglihatan sedang hakikatnya satu.
Deangan demikian, menurut Ibn Arabi bahwa wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat alam. Menurut Muhammad Yusuf Musa bahwa kesimpulan ajaran aliran ini adalah sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud yang satu (Tuhan). Karena itu. Tuhan berwujud dalam berbagai bentuk, tetapi hal ini tidak mengharuskan berbilangnya wujud yang sebenarnya. (Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar, 2015 : 146-147)

-          Wafatnya Ibn Arabi

Beliau mengakhiri pengembarannya di Damsik. Pada malam jum’at 28 Rabi’ul Akhir tahun 638 H beliau dipanggil yang Maha Kuasa kembali menghadap Ilahi dalam usia 78 tahun. Jasadnya yang sudah membeku, membisu seribu bahasa disemadikan di dalam Masjid Imam Akbar Muhyi al-Din bin Arabi terletak di kaki bukit Qasiyunak. Meskipun jasadnya telah kembali ke asalnya, mulutnya tidak pernah bicara lagi tangannya telah berhenti menggoreskan tinta, namun karyanya masih tetap berbicara, semua usaha dan jerih payahnya masih dapat dinikmati hingga saat ini tetap hidup di hati umat ini. (Ahmad Bangun Nasution, Rayani Hanum Siregar, 2015 : 147)

Cinta , Ridha dan Al-Maqam Lainnya (RESUME) -BAB 3-

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                            : 72154060
Prodi/Sem                   : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf

TEMA                        : Cinta (al-mahabbah), Rida (al-ridha), Al-Maqam Lainnya

BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku           : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Cinta (al-mahabbah)
Sub 2 : Rida (al-ridha)
Sub 3 : Al-Maqam Lainnya
Kesimpulan

-          Cinta (al-mahabbah)
Menurut Ja’far (78:2016), Menurut al-Ghazali, al-mahabbah adalah al-maqam sebelum rida. Kaum sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis, dan atsar. Kata cinta disebut Alquran secara berulang kali, meskipun tidak hanya dalam makna cinta kepada Allah Swt. Kata hub disebut Alquran sebanyak 99 kali dalam berbagai bentuk kata, antara lain hubb dan yuhibbu, sedangkan dalam kata al-mahabbah tidak digunakan Alquran.
Sedangkan makna al-mahabbah dalam tasawuf dapat dilihat dari ucapan kaum sufi. Junaid al-Baghdadi, misalnya, berkata “cinta adalah masuknya sifat-sifat kekasih pada sifat-sifat yang mencintai.” Muhammad bin ‘Ali al-Kattani berkata “cinta mengutamakan yang dicintai.” Muhammad bin al-Fadhal al-Farawi berkata “cinta itu adalah runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih.”
Tanda cinta kepada Allah Swt adalah senantiasa berzikir kepada Allah; gemar mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada-Nya seperti membaca Alquran dan tahajud; merasa rugi bila melewatkan waktu tanpa menyebut nama-Nya; dan menyayangi semua hamba Allah, mengasihi mereka dan bersikap tegas terhadap musuh-musuh-Nya. Jabaran diatas iala menurut Ibn Qudamah. Jika menurut al-Ghazali, mengutip pendapat Yahya bin Mu’az, indikator seorang hamba mencintai Allah Swt adalah mengutamakan perkataan Allah daripada perkataan manusia, mengutamakan bertemu dengan allah daripada bertemu dengan makhluk, dan mengutamakan ibadah kepada Allah Swt daripada melayani manusia.

-          Rida (al-ridha)
Menurut Ja’far (80:2016), Kata rida berasal dari kata radhiya, yardha, ridhwanan yang artinya “senang, puas, memilih, persetujuan, memilih, menyenangkan, dan menerima.” Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela, suka, senang hati, perkenan, dan rahmat.” Penyebutan istilah rida secara berulang kali dan dalam berbagai bentuk di dalam Alquran mengarahkan kepada kesimpulan bahwa Islam menilai penting maqam rida.
Para sufi telah memberikan penegasan mengenai arti dari maqam terakhir yang mungkin dicapai oleh kaum sufi sebagaimana dijelaskan oleh sufi-sufi dari mazhab Sunni. Di antara mereka, Ibn Khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.” Menurut al-Hujwiri, rida terbagi menjadi dua macam: rida Allah terhadap hambanya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida Allah terhadap hamba-Nya adalah dengan cara memberikan pahala, nikmat, dan karamah-Nya, sedangkan rida hamba kepada Allah adalah melaksanakan segala perintah-Nya dan tunduk atas segala hukum-Nya.”
Abu Umar al-Dimsyaqi berkata, “rida adalah meninggalkan keluh kesah ketika hukum telah diberlakukan.” Ruwaim berkata “rida adalah menerima hukum dengan senang hati.” Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, rida memiliki dua derajat: rida kepada Allah Swt. sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya; dan rida terhadap qada dan qadar Allah Swt. Menurut Ibn Qudamah, makna rida adalah seorang hamba menyadari bahwa pengaturan Allah Swt. lebih baik dari pengaturan manusia; dan rida atas penderitaan, karena di balik penderitaan ada pahala apalagi penderitaan itu berasal dari Allah Swt. sebagai Kekasihnya.

-          Al-Maqam Lainnya
Menurut Ja’far (84:2016), Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifah), dan menegaskan bahwa al-ridha bukan maqam tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi dua, yakni al-ma’rifat haq yang berarti penegasan keesaan Allah atas sifat-sifat yang dikemukakan-Nya; dan ma’rifat haqiqah yang bermakna makrifat yang tidak bisa dicapai dengan sarana apapun, sebab sifat-Nya tidak dapat ditembus dan ketuhanan-Nya tidak dapat dipahami.
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa maksud para sufi dari istilah makrifat adalah “sifat dari orang-orang yang mengenal Allah Swt. dengan nama dan sifat-Nya, dan membenarkan Allah Swt. dengan melaksanakan ajaran-Nya dalam segala perbuatan... [makrifat adalah] pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Swt., tidak menyaksikan selain menyaksikan-Nya, dan tidak kembali kepada selain-Nya.”
Tingkat makrifat paling tinggi dimiliki oleh kaum ‘urafa, ahl al-yaqin, dan ahl al-hudhur yang menyaksikan-Nya secara langsung [dengan hati]. Bagi sebagian sufi, makrifat lebih tinggi dari rida. Sebagian sufi lain menghadirkan ajaran lain mengenai al-maqam tertinggi. Al-Hallaj mengenalkan paham al-hulul, Abu Yazid al-Bistami memiliki ajaran tentang al-ittihad, dan Ibn’ Arabi mengajarkan paham wahdah al-wujud yang dielaborasi lebih lanjut oleh Mulla Shadra. Ketiga teori ini memang mendapatkan penolakan dari banyak fukaha dan teolog Sunni, tetapi diterima oleh mayoritas fukana Syiah.


-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya ialah cinta adalah maqam sebelum rida, dasar ajaran dari kaum sufi tentang cinta ialah al-qur’an, hadis, dan atsar. Cinta juga disebut dalam Alquran secara berulang kali. Walaupun tidak dalam makna cinta saja. Makna mahabbah dalam tasawuf menurut sufi Muhammad bin ‘Ali al-Kattani ialah “cinta mengutamakan yang dicintai.” Tanda cinta kepada Allah ialah dengan berzikir kepada-Nya, senang mengasingkan diri hanya untuk bermunajat kepada Allah seperti membaca al-qur’an dan tahajud.
Lalu, rida menurut Ibn Khatib adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala. Rida terbagi menjadi 2, yaitu rida Allah terhadap hamba-Nya, dan rida hamba terhadap Allah Swt. Rida memiliki 2 derajat, rida kepada Allah Swt sebagai Rabb, dan membenci beribadah kepada selain-Nya dan rida terhadap qada dan qadar Allah Swt.
Sedangkan al-maqamat lainnya ialah makrifat, sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat dan menegaskan bahwa rida bukan maqam tertinggi. Al-Kalabazi mengatakan bahwa sebagian sufi membagi makrifat menjadi 2, yaitu al-ma’rifat haq dan ma’rifat haqiqah.
BUKU 2                     : AKHLAK TASAWUF Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi) (Buku Pembanding)
Identitas Buku           : Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A. , Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., (Jakarta Pers, 2015)
Sub 1 : Rela (Ridha)
Sub 2 : Mahabah
Sub 3 : Maqam
Kesimpulan

-          Rela (Ridha)
Menurut Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (50:2015), Rela (ridha) berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Swt. Orang yang rela mampu menerima dan melihat hikmah dan kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah Swt. dan tidak berburuk sangka terhadap ketentuannya.
Menurut Abdul Halim Mahmud, ridha mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai Allah Swt dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah Swt.

-          Mahabah
Menurut Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (57:2015), Mahabah secara literal mengandung beberapa pengertian sesuai dengan asal pengambilan katanya. Mahabah berasal dari kata hibbah, yang berati benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman.
Dalam perspektif tasawuf, mahabah bisa ditelusuri maknanya menurut pandangan para sufi. Menurut Al-Junaid, cinta adalah kecendrungan hati. Yakni hati cenderung kepada Tuhan dan apa-apa yang berhubungan dengan-Nya tanpa usaha. Cinta, menurut pemuka sufi lain, adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainya. Ali al-Kattani juga memandang cinta sebagai menyukai kepada apa yang disenanginya dan apa-apa yang datang dari yang dikasihinya.

-          Maqam Lainya (Makrifat)
Menurut Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (79:2015), Makrifat adalah ujung perjalanan dari ilmu pengetahuan tentang syariat dengan kesediannya menempuh jalan (thariqat) dalam mencapai hakikat, itulah yang disebut dengan makrifat. Jadi, makrifat adalah pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan ibadat dalam dunia tasawuf yang dimaksud dengan makrifat adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati dan jalan pencapaian sistematik.


-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruh penjelasan di atas ialah Rida adalah menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Swt. Ridha mendorong manusia berusaha sekuat tenaga mencapai apa yang dicintai llah Swt dan Rasul-Nya. Sebelum mencapainya ia harus menerima dan merelakan akibatnya dengan cara apa pun yang disukai Allah Swt.
Beralih ke cinta atau mahabah, cinta itu seperti benih yang jatuh ke bumi, karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih menjadi sumber tanaman. Menurut Al-Junaid, cinta adalah kecendrungan hati. Sedangkan makrifat adalah pengetahuan, perasaan, pengalaman, dan ibadat dalam dunia tasawuf yang dimaksud dengan makrifat adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati dan jalan pencapaian sistematik.


PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di jelaskan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa cinta itu adalah runtuhnya semua cinta dalam hati kecuali kepada kekasih, cinta itu juga maqam dalam  ilmu tasawuf sebelum maqam ridha, di buku pak ja’far di jabarkan makna cinta kepada Allah secara lengkap begitu juga dengan ridha, ridha itu ialah menerima segalanya dengan senang hati tanpa ragu-ragu. Rida juga memiliki derajat dan memiliki macam-macamnya , di dalam buku pak ja’far telah diuraikan. Begitu juga dengan makrifat, sebagian sufi menilai setelah mencapai maqam rida, salik bisa mencapai maqam makrifat. Makrifat ialah pengosongan diri untuk selalu mengingat Allah Swt, tidak menyaksikan-Nya dan tidak kembali kepada selain-Nya.
Sedangkan pada buku pembanding (yang kedua) karangan Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar menjelaskan bahwa Cinta itu menurut pemuka sufi adalah mengabdikan diri kepada yang dicintainya. Tidak ada penjelasan lain mengenai mahabah (cinta) dibuku kedua ini karna jabaran mengenai cinta sangatlah sedikit, berbanding terbalik dengan buku pak Ja’far. Sedangkan ridha itu menerima dengan rasa puas terhadap apa yang dianugerahkan Allah Swt. dan Makrifat ialah maqam lainnya yang ada di buku ini, makrifat ialah, pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati dan jalan pencapaian sistematik. Bisa kita lihat perbedaan dalam kedua buku ini ialah buku utama lebih lengkap daripada buku pembanding, mulai dari segi pengertian, sampai penjelasan para sufi terkait cinta, ridha, dan maqam lainnya (makrifat).


Sabtu, 17 Desember 2016

Akhlak Tasawuf : Fakir, Sabar, dan Tawakal (BAB 3) -RESUME-

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                            : 72154060
Prodi/Sem                   : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi         : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu        : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf

TEMA                        : Kefakiran (al-faqr), Sabar (al-shabr), Tawakal (al-tawakkul)

BUKU 1                     : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku           : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Kefakiran (al-faqr)
Sub 2 : Sabar (al-shabr)
Sub 3 : Tawakal (al-tawakkul)
Kesimpulan

-          Kefakiran (al-faqr)
Menurut Ja’far (68:2016), Dalam terminologi Alquran, istilah fakir berasal dari bahasa Arab, faqura, yafquru, faqran yang artinya miskin. Istilah faqr bermakna kemiskinan. Dalam bahasa Indonesia, fakir berarti “orang yang sangat kekurangan, orang yang terlalu miskin, atau orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin.”
Beberapa dalil tentang fakir adalah Q.S. al-Hasyr/59:273. Mengenai makna fakir, al-Kalabazi berkata “fakir adalah orang yang tidak boleh mencari mata pencaharian, kecuali orang itu khawatir tidak mampu melaksanakan tugas keagamaan. Al-Nuri berkata “fakir adalah orang yang harus bungkam ketika tidak memiliki diri sendiri jika memilih sesuatu.”
Fakir tidak bermakna menafikan kekayaan dan harta, sebab para nabi dan rasul adalah orang-orang kaya dan memiliki kekuasaan, tetapi makna fakir adalah seorang hamba senantiasa memiliki kebutuhan terhadap Allah Swt Dalam keadaan apapun, Jabaran fakir diatas ialah menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah.
Hakikat fakir adalah tidak membutuhkan kepada segala hal dan hanya membutuhkan Allah Swt. dalam berbagai keadaan. Menurut Ibn Qudamah, derajat tertinggi dalam fakir adalah seorang salik benci kepada harta (zuhud) dan tidak merasa senang dengan harta (rida).

-          Sabar (al-shabr)
Menurut Ja’far (71:2016), kata sabar berasal dari bahasa Arab, shabara, yashbiru, shabran, maknanya adalah mengikat, bersabar, menahan dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Dalam bahasa Indonesia, sabar bermakna “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), dan tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu.”
Makna sabar juga dipaparkan satu persatu oleh sufi ialah seperti, Dzun al-Nun al-Mishri mengatakan bahwa “sabar adalah menjauhi hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dn menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan kefakiran dalam kehidupan. Ibn ‘Atha’ berkata bahwa “sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap berperilaku baik.” Sebagian ulama juga memaparkan terkait makna sabar, seperti al-Qusyairi mengatakan bahwa “sabar adalah tertimpa cobaan dengan tetap bersikap baik dalam pergaulan sebagaimana keadaan sehat.” Nashr al-Din al-Thusi sabar secara harfiah bermakna “mencegah jiwa dari perasaan waswas ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.”
Al-Thusi membagi sabar menjadi tiga jenis: sabar kaum awam, kesabaran kaum zuhud, dan kesabaran ahli hikmah. Al-Ghazali, Ibn Qudamah, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah membagi sabar menjadi 3 yaitu: sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari godaan untuk melakukan perbuatan maksiat, dan sabar atas musibah dari Allah Swt.

-          Tawakal (al-tawakkul)
Menurut Ja’far (74:2016), Berasal dari bahasa Arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti “mempersembahkan, memberi, membuang urusan, bersandar, dan bergantung” Dalam bahasa Indonesia, tawakal adalah “pasrah diri kepada kehendak Allah; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah (dalam penderitaan dan sebagainya), atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah.”
Al-Ghazali menyebutkan dalil-dalil kewajiban dan keutamaan tawakal kitab Ihya’ Ulum al-Din. Di antara dalilnya adalah Q.S. al-Ma’idah/5:23; Q.S. Ibrahim/14:12; Q.S.al-Thalaq/65:3; dan Q.S. Ali ‘Imran/3:159. Allah Swt.            
Dalam karya-karya tasawuf, para sufi telah memberikan penjelasan mengenai makna tawakal. Hamdun al-Qashshar berkata, “tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah Swt.”
Menurut Ibn Qudamah, ada tiga derajat tawakal: menyerahkan diri hanya kepada Allah Swt. dan selalu mengharapkan pertolongan-Nya; pasrah dan tidak bersandar kecuali hanya kepada Allah seperti seorang anak yang hanya bersandar kepada ibunya; dan tidak berpisah dengan Allah Swt. dan melihat diri sendiri seperti orang mati yang posisinya seperti kepasrahan mayit di tangan orang-orang yang memandikannya. Akan tetapi, tawakal tidak menafikan usaha, sebab usaha menjadi sangat penting dalam Islam.

-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya ialah Fakir adalah suatu makna untuk kemiskinan, orang yang terlalu miskin, dan orang yang sangat kekurangan. Bisa juga dibilang orang yang fakir adalah orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Dan hakikat fakir ialah tidak butuh pada segala hal selain hanya membutuhkan Allah Swt.
Beralih ke sabar, sabar ialah menahan diri dari larangan hukum, dan menahan diri dari kesedihan. Dalam bahasa Indonesia juga disebutkan bahwa sabar bermakna tidak lekas marah, tidak lekas putu asa, tidak lekas patah hati. Sabar juga menurut Al-Thusi dibagi menjadi 3 yaitu, sabar kaum awam, sabar kaum zuhud, dan sabar ahli hikmah. Lalu tawakal, tawakal dalam bahasa Indonesia ialah, pasrah diri kepada Allah atau sesudah berikhtiar baru berserah kepada Allah.”

BUKU 2                     : AKHLAK TASAWUF Pengenalan, Pemahaman, dan Pengaplikasiannya (Disertai Biografi dan Tokoh-tokoh Sufi) (Buku Pembanding)
Identitas Buku           : Drs. H. Ahmad Bangun Nasution, M.A. , Dra. Hj. Rayani Hanum Siregar, M.H., (Jakarta Pers, 2015)
Sub 1 : Faqr (Fakir)
Sub 2 : Sabar
Sub 3 : Tawakal
Kesimpulan

-          Faqr (Fakir)
Menurut Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (50:2015), Fakir dapat berarti sebagai kekurangan yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia. Karena kekayaan/harta memungkinkan manusia dekat pada kejahatan dan membuat jiwa menjadi lupa pada Allah. Maka dapat disimpulkan bahwa fakir adalah golongan yang telah memalingkan setiap pikiran dan harapan yang akan memisahkan dari Allah atau penyucian hati secara keseluruhan terhadap apa yang membuat jauh dari Tuhan.
-          Sabar
Menurut Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (50:2015), Dalam Islam mengendalikan diri untuk berlaku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam tasawuf sabar dijadikan satu maqam sesudah maqam fakir karena persyaratan untuk bisa konsentrasi dalam zikir orang harus bisa mencapai fakir. Tentu hidupnya akan dilanda berbagai macam rintangan, oleh karena itu harus melangkah ke maqam sabar. Di mana sabar memiliki pengertian yaitu menahan diri dari nafsu dan amarah. Dimana dalam firman Allah yaitu:
“Wahai orang-orang yang beriman minta tolonglah dengan shalat dan sabar, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”.
-          Tawakkal
Menurut Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar (51:2015), Dalam syariat Islam diajarkan bahwa tawakal dilakukan segala daya dan upaya dan ikhtiar dijalankannya. Tasawuf menjadikan maqam tawakal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan hati manusia agar tidak memikirkan keduniaan serta apa saja selain Allah. Tawakal merupakan keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah Swt. serta berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Dikatakan oleh sejumlah kaum sufi bahwa barangsiapa yang hendak melaksanakan tawakal dengan sebenar-benarnya hendaknya ia menggali kubur di situ melupakan dunia dan penghuninya artinya tawakal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah Swt.


-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruh penjelasan di atas ialah Fakir itu adalah suatu kekurangan yang diperlukan  seseorang dalam menjalani kehidupan di dunia, jika seseorang tersebut memiliki kekayaan/harta itu bisa memungkinkan dia untuk dekat pada kejahatan dan membuat jiwanya menjadi lupa pada Allah Swt. Beralih ke sabar, dalam Islam mengendalikan diri untuk berlaku sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia. Dalam tasawuf, sabar dijadikan suatu maqam sesudah maqam fakir.
Lalu tawakal, tawakal diartikan sebagai keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah Swt, berhenti memikirkan diri sendiri dan juga berhenti merasa memiliki daya dan kekuatan tanpa Allah Swt, karena Allah-lah yang memberikan kita kekuatan hidup.


PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di jelaskan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa fakir itu bermakna kemiskinan, sabar itu suatu sikap menahan diri (dalam berbagai hal), dan tawakal itu pasrah diri kepada Allah setelah berusaha. Didalam buku Ja’far juga dipaparkan makna-makna sabar menurut para sufi, dibuku ini juga di tulis fakir,sabar, dan tawakal dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan pada buku pembanding (yang kedua) karangan Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar menjelaskan bahwa fakir itu kekurangan yang dibutuhkan manusia untuk tidak terlalu terlena terhadap dunia, agar selalu teringat dengan Allah Swt sang pencipta. Pada sabar, menurut buku ini sabar merupakan tiang bagi akhlak mulia, dibuku ini diberitahukan bahwa sabar adalah maqam sesudah maqam fakir. Lalu tawakal, ialah keteguhan hati seseorang dan selalu menggantungkan dirinya hanya kepada Allah Swt. buku ini tidak memaparkan asa-usul kata fakir, sabar, dan tawakal. Buku ini hanya memberikan pengertian dan makna serta sedikit firman Allah dari fakir, sabar, dan tawakal. Dalam segi kelengkapan, maka buku karangan Ja’far bisa kita bilang lebih unggul karena memaparkan segala hal terkait tentang fakir, sabar, dan tawakal.