Minggu, 27 November 2016

Akhlak Tasawuf : Tobat, Warak dan Zuhud (BAB 3) -RESUME-

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                             : 72154060
Prodi/Sem                    : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu         : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                 : Akhlak Tasawuf

TEMA                         : Tobat (al-taubah), Warak (wara’), Zuhud (al-zuhd)

BUKU 1                      : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku                        : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Tobat (al-taubah)
Sub 2 : Warak (wara’)
Sub 3 : Zuhud (al-zuhd)
Kesimpulan


-          Tobat (al-taubah)
Menurut Ja’far (57:2016), tobat dalam bahasa Indonesia, bermakna “sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan.” Maqam tobat (al-taubah) merupakan maqam pertama yang harus dilewati setiap salik dan diraih dengan menjalankan ‘ibadah,mujahadah,dan riyadhah. Istilah tobat berasal dari bahasa Arab, taba, yatubu, tobatan, yang berarti kembali.
Telah dijelaskan oleh para sufi dalam karya-karya mereka bahwa istilah tobat diartikan sebagai berbalik dan kembali kepada Allah dari dosa seseorang untuk mencari pengampunan-Nya. Dzun Nun al-Mishri menegaskan bahwa tobat dibagi menjadi tiga: “tobat kaum awam (al-‘amm) yakni tobat dari dosanya (taubah min al-zunubi), tobat orang tepilih (al-khash) yakni tobat dari kelupaannya (al-ghaflah), dan tobat para nabi yakni tobat dari kesadaran mereka atas ketidakmampuan untuk mencapai apa yang telah dicapai orang lain.”
Menurut al-Qusyairi “tobat adalah kembali dari sesuatu yang dicela syariat menuju kepada sesuatu yang dipuji syariat...tobat diharuskan memenuhi tiga syarat yaitu menyesali atas pelanggaran yang telah dibuat, meninggalkan jalan licin (kesesatan) pada saat melakukan tobat, dan berketetapan hati untuk tidak mengulangi pelanggaran-pelanggaran serupa.”
Menurut Nash al-Din al-Thusi, syarat tobat adalah pengetahuan terhadap jenis-jenis amal yang akan membawa manfaat (pahala) dan mudarat (dosa). Menurutnya, tobat terdiri atas tiga hal: tobat yang berhubungan dengan masa lalu, tobat yang berhubungan dengan masa kini, tobat yang berhubungan dengan masa depan.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, ada tiga syarat tobat : penyesalan, meninggalkan dosa yang dilakukan, dan memperlihatkan penyesalan dan ketidakberdayaan. Menurut Ibn Qumadah, tobat merupakan ungkapan penyesalan atas segala dosanya kepada Allah dan dosanya kepada manusia. Menurut al-Ghazali, tobat adalah meninggalkan dosa, dan tidak akan mungkin dapat meninggalkan dosa bila tidak mengenal macam-macam dosa, hukum mengetahui macam-macam mengetahui macam-macam dosa itu wajib.


-          Warak (wara’)
Menurut Ja’far (62:2016), Kata warak berasal dari bahasa Arab, wara’a, yari’u, wara’an yang bermakna berhati-hati, tetapi dalam kamus bahasa Indonesia, warak bermakna “patuh dan taat kepada Allah.” Di dunia tasawuf, kata warak ditandai denga kehati-hatian dan kewaspadaan tinggi. Meskipun istilah ini tidak ditemukan dalam Alquran, tetapi banyak hadis Nabi Muhammad Saw. menggunakan istilah warak.
Menurut Ibn Qayyim al-Jauziyah, warak adalah menjaga diri dari perbuatan dan barang haram dan syubhat. Menurutnya, ada tiga derajat warak, yakni menjauhi keburukan karena hendak menjaga diri, memperbanyak kebaikan dan menjaga iman, menjaga hukum dalam segala hal yang mubah, melepaskan diri dari kehinaan, dan menjaga diri agar tidak melampaui hukum, dan menjauhi segala sesuatu yang mengajak kepada perpecahan.


-          Zuhud (al-zuhd)
Menurut Ja’far (63:2016), kata zuhud berasal dari bahasa Arab yang artinya menjauhkan diri, dan tidak tertarik. Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian; pertapaan.” Meskipun isitlah ini kurang banyak digunakan dalam Alquran, akan tetapi banyak ayat Alquran yang mengarah secara tegas kepada makna zuhud, biasanya dapat dilihat dala penjelasan Alquran mengenai keutamaan akhirat daripada dunia.
Para sufi memberikan banyak penjelasan mengenai hakikat zuhud. Menurut al-Qusyairi, “zuhud adalah meninggalkan yang haram, karena yang halal dibolehkan oleh Allah Swt... zuhud adalah meninggalkan yang haram adalah wajib dan meninggalkan yang halal adalah keutamaan...”
Abu Sulaiman al-Darani berkata, “zuhud adalah meninggalkan berbagai aktivitas yang mengakibatkan jauh dari Allah Swt.” Menurut al-Ghazali, zuhud adalah sikap tidak menyukai dunia, karena ingin berpaling kepada akhirat. Zuhud dapat berarti berpaling dari selain Allah unutk menuju kepada-Nya. Konsep zuhud kaum sufi klasik memang digugat oleh kaum modernis yang menilai ajaran zuhud sebagai bidang kemunduran peradaban Islam Modern.


-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya ialah tobat, warak dan zuhud adalah sifat seorang salik untuk dapat mencapai hakikat Allah Swt yang mana dalam ilmu tasawuf sangat berguna dan perlu dipelajari, perlu kita ingat pada resume sebelumnya mengenai al-maqamat bahwa tobat menurut kaum sufi ialah maqam pertama yang wajib diperoleh setiap salik , termasuk juga warak dan zuhud merupakan maqam-maqam yang harus dilewati salik.
Tobat, yaitu menyesali perbuatan dan berjanji kepada Allah Swt untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Warak, yaitu sifat waspada dan hati-hati akan sesuatu yang tidak pasti (syubhat). Memelihara diri agar selalu senantiasa patuh dan taat kepada Allah Swt. Zuhud, yaitu suatu sifat yang mengontrol keduniawian (tidak terlena oleh dunia) dan lebih memilih Allah dan akhirat sebagai pedoman hidupnya.


BUKU 2                      : Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia (Buku Pembanding)
Identitas Buku                                                       : H. Abuddin Nata, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015)           
Sub 1 : Al-Taubah
Sub 2 : Warak
Sub 3 : Zuhud (al-zuhud)
Kesimpulan

-          Al-Taubah
Menurut Abuddin Nata (198:2015), Al-Taubah berasal dari bahasa Arab taba,yatubu,taubatan, yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan. Harun Nasution mengatakan “taubat yang dimaksud sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi”.
Untuk mencapai taubat yang sesungguhnya dan dirasakan diterima oleh Allah terkadang tidak dapat dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai tujuh puluh kali taubat, baru ia mencapai tingkat taubat yang sesungguhnya. Taubat yang sebenarnya dalam paham sufisme ialah lupa pada segala hal kecuali Tuhan. Orang yang taubat adalah orang yang cinta pada Allah, orang yang demikian senantiasa mengadakan kontemplasi tentang Allah.
-          Warak
Menurut Abuddin Nata (199:2015), secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian dan sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan, meminum, atau memakainya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit mendapat hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadist Nabi yang menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang dimakan oleh manusia akan menyebabkan noda hitam pada hati yang lama kelamaan hati menjadi keras. Hal ini sangat ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mengharapkan nur ilahi yang dipancarkan lewat hatinya yang bersih.

-          Zuhud (al-zuhud)
Menurut Abuddin Nata (194:2015), secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Sedangkan menurut Hasan Nasution zuhud artinya “keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian”. Selanjutnya al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud didalam masalah haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
Zuhud termasuk dalam salah satu ajaran agama yang sangat penting untuk mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, daripada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu. Sikap zuhud adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi.
Sikap ini dalam sejarah pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyah misalnya, disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. Demikian pula halnya dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ia dibenci oleh ibunya sendiri, Zubaidah.
Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Muawiyah dan Abbasiyah itu telah timbul pula sikap perlombaan dan persaingan tidak sehat di zaman Usman dan Ali. Dalam keadaan demikian ada sahabat yang tidak mau melibatkan diri. Mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut. Dengan demikian maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Muawiyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w.135 H) dan Hasan Basri (w. 110 H).


-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruh penjelasan di atas adalah tobat itu suatu kegiatan memohon ampun atas segala dosa-dosa dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dengan cara melakukan amal kebajikan. Di buku ini juga dijelaskan bahwa tobat yang dijalankan para sufi ialah tobat yang sebenarnya, yaitu tobat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Dalam paham sufisme tobat yang sebenarnya ialah lupa kepada segala hal kecuali Allah.
Warak dalam buku pembanding dijelaskan adalah dengan menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi wara’ ialah menjauhi segala hal yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dengan haram (syubhat). Kaum sufi juga percaya jika makanan, minuman atau pakaian yang kita kenakan berasal dari yang haram maka dapat mempengaruhi kita sendiri, kita bisa menjadi keras hati, dan susah mendapat ilham dari Allah, kaum sufi sangat takut akan hal itu. Nah, zuhud ialah ketidakinginan kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Lebih memilih kehidupan di akhirat yang kekal dan abadi daripada kehidupan dunia yang fana dan hanya sekejap saja.

PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di jelaskan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa tobat, warak, dan zuhud adalah sifat seorang salik untuk dapat mencapai hakikat Allah Swt. Dalam buku Ja’far banyak dipaparkan tentang pendapat para sufi masalah taubat, warak dan juga zuhud. Banyak juga ayat dan hadist yang dipaparkan tentang masalah ini. Kita juga di haruskan untuk senantiasa patuh kepada Allah, menjauhi yang haram, dan tidak boleh berlarut-larut oleh gemerlapnya dunia.

Sedangkan pada buku pembanding (yang kedua) karangan Abuddin Nata lebih menekankan pada pengalaman sufi tentang taubat. Dan berkata bahwa tobat yang sesungguhnya adalah tobat yang dijalankan oleh para sufi. Pada wara’ buku ini juga membahas apa yang terjadi pada diri kita jika kita memakan atau meminum apa yang didalamnya terdapat syubhat, yang mana pada buku Ja’far tidak dibahas masalah itu. Pada bahasan zuhud, buku ini menjelaskan serta memberi contoh bahwa zuhud sudah ada mulai dari zaman Usman dan Ali sampai sekarang tetapi pada buku Ja’far itu tidak dibahas. 

Minggu, 13 November 2016

Akhlak Tasawuf : Al-Maqamat dan Al-Ahwal (BAB 3) -RESUME-

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                             : 72154060
Prodi/Sem                    : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu         : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                 : Akhlak Tasawuf

TEMA                         : Al-Maqamat dan Al-Ahwal

BUKU 1                      : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku                        : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Definisi
Sub 2 : Pondasi al-Maqamat
Sub 3 : Hierarki al-Maqamat
Kesimpulan

-          Definisi
Menurut Ja’far (48:2016), karya-karya sufi telah menunjukkan bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu dirancang sebagai media informasi bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab itu, para sufi menyusun teori mengenai usaha-usaha untuk menempuh perjalanan spiritual (thariqah) berupa tangga-tangga pendakian spiritual yang disebut al-maqamat. Hakikat al-maqamat biasanya juga diiringi kajian tentang ahwal, sebab keduanya tidak bisa dibahas secara terpisah. Dalam kitab al-Luma’, al-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan Allah SWT. Sedangkan al-ahwal adalah keadaan hati (qalb) seorang sufi sebagai akibat dari kemurnian zikirnya.
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat adalah tingkatan spiritual yang akan diraih salik dengan jalan mujahadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadhah. Menurutnya, seorang salik tidak akan dapat menaiki maqam selanjutnya sebelum berhasil menjalani dan memperoleh maqam sebelumnya.
Al-Qusyairi menjelaskan perbedaan al-ahwal dengan al-maqamat : “Al-hal menurut kaum (sufi) adalah makna yang hadir dalam hati tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan seperti gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, dan gemetar. Al-hal merupakan pemberian, sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha. Al-hal datang dari Allah ke dalam jiwanya (sufi), sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha dengan mujahadah secara terus menerus. Pemilik al-maqam memungkinkan dapat menduduki al-maqam secara tetap, sedangkan pemilik al-hal sering mengalami naik turun sesuai keadaan hatinya.” Al-ahwal merupakan pemberian Allah Swt. Kepada salik yang sedang menjalani beragam ibadah untuk menapaki satu persatu maqam dari yang awal sampai yang paling akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual yang mungkin dicapai seorang sufi.

-          Pondasi al-Maqamat
Dalam memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah, seorang salik harus melakukan khalwah dan ‘uzlah dalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju Allah Swt. Dalam Risalah al-Qusyairiyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa menyepi (khalwah) adalah sifat ahli sufi, dan mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung dengan Allah Swt.
Khalwah (menyepi) adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan al-Haqq. Sedangkan hakikat ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk orang lain. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan bahwa praktik mengasingkan diri memiliki banyak manfaat bagi seorang penempuh ilmu jalan spiritual. Pertama, dapat mengosongkan dirinya hanya dengan beribadah kepada Allah Swt. Kedua, dapat melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang biasa dilakukan dan dihadapi manusia selama hidup bermasyarakat seperti mengumpat, adu domba, dan pamer. Ketiga, membebaskan diri dari kejahatan-kejahatan manusia. Keempat, memutuskan diri dari kerakusan manusia dan kerakusan terhadap dunia. Kelima, membebaskan diri dari penyaksian atas orang-orang yang berperangai buruk dan bodoh. Keenam, menghasilkan ketaatan dalam kesendirian dan terlepas dari perbuatan tercela  dan larangan Allah Swt.
Selama berkhalwat, salik harus berusaha membebaskan diri dari seluruh gangguan indrawi, gangguan batin dan  mendisplinkan aspek-aspek hewani dalam dirinya sehingga ia tidak mengikuti kecendrungan kepada berbagai aspek tersebut. Dalam khalwah dan ‘uzlah, seorang salik harus menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Salah satu yang menjadi andalan seorang salik adalah zikir. Menurut ‘Umar Suhrawardi, seorang salik mengamalkan berbagai bentuk wirid yang terus menerus diulang oleh semua sufi, antara lain la ilaha illallah, ya Allah, ya Hu, ya Haqq, ya Hayy, ya Qayyum, dan ya Qahhar. Selain itu, seorang salik yang sedang berkhalwat harus dalam keadaan berwudhu, berpuasa, sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara, menafikan berbagai pikiran, dan terus beramal ibadah dengan menjalankan ibadah salat (wajib dan sunnah) dan zikir. Kebanyakan sufi mengadakan khalwah selama empat puluh hari, meskipun banyak sufi terus menerus melakukan khalwah dalam waktu bertahun-tahun.
Mengenai mujahadah, teori ini antara lain didasari oleh Q.S. al-‘Ankabut/29:69. Hasaan al-Qazaz, mengatakan bahwa “mujahadah dibangun atas tiga hal: tidak makan bila sangat butuh, tidak tidur kecuali mengantuk, dan tidak bicara kecuali terdesak.” Riyadhah dimaknai juga sebagai pembiasaan jiwa manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkannya menuju kesempurnaan yang dapat dicapainya. Tujuan riyadhah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi jalan menuju  Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepada akal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar selalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt.
Para salik, tidak bisa tidak, harus mengamalkan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruh tingkatan al-maqamat dan dianugerahi al-ahwal.

-          Hierarki al-Maqamat
Para sufi telah merumuskan susunan al-maqamat dan al-ahwal secara berbeda, sebagai dampak dari perbedaan pengalaman spiritual mereka, bahkan sebagian sufi menerangkannya secara simbolis melalui novel-novel mistis yang sebenarnya menjelaskan perjalanan spiritual seorang salik menuju Allah Swt. Sekadar contoh mengenai al-maqamat, dari tingkat paling awal yang harus dilewati seorang salik sampai tingkat tertinggi yang mungkin dicapainya, al-Thusi (w.988M) menyebutkan bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan, dan menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi (w.1168) adalah al-intibah, al-taubah, al-inabah, al-wara’, muhasabah al-nafs, ridha, al-ikhlash, dan al-tawakkul. Al-Kalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah diawali dari tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakkal, kerelaan, cinta dan makrifat. Al-Qusyairi (w.1073 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, tawakal, sabar, dan kerelaan. Al-Ghazali (w. 1111 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, dan kerelaan.
Kaum sufi sepakat bahwa perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Allah Swt. Harus diawali dari tingkatan tobat sampai tingkat rida sebagai tingkatan spiritual tertinggi.

-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya adalah maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, mulai dari tingkatan paling mendasar hingga tingkatan tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt., yang diperoleh seorang salik secara mandiri yaitu melalui ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus. Sebagai catatan, salik ialah seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt.
Pondasi untuk bisa mencapai al-maqamat dan al-ahwal ialah dengan khalwah dan ‘uzlah yaitu dengan menyepi dan mengasingkan diri. Dengan begitu seorang salik dapat dengan mudah tersambung dengan Allah Swt. Hierarki pada al-maqamat mulai dari yang pertama ialah tobat dan yang terakhir ialah ridha, para sufi sepakat akan hal itu. Harus diketahui bahwa para sufi tidak memiliki rumusan yang sama mengenai al-maqamat, dan perbedaan tersebut lebih didasari oleh perbedaan pengalaman spiritual masing-masing.


BUKU 2                      : TASAWUF STUDIES : Pengantar Belajar Tasawuf (Buku Pembanding)
Identitas Buku                  : Dr. H,  Syamsun Ni’am, M. Ag. (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014)           
Sub 1 : Perspektif Maqamat dan Ahwal
Sub 2 : Macam-Macam Maqamat
Kesimpulan

-          Perspektif Maqamat dan Ahwal
Menurut Syamsun Ni’am (137:2014), maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh melalui peribadatan, mujahadat, dan lain-lain. Latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak ada putus-putusnya dengan Allah Swt. Atau secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah Swt.
Sementara ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal , yang secara bahasa berarti kondisi, keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal berarti persaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya dzikir.
Bagi seorang penempuh tasawuf awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubat. Kedua ialah zuhud, ketiga wara’, keempat faqr, kelima sabar, keenam tawakkal, dan ketujuh ridha.
Itu semua hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai  ilahiah (tahalli), dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi ilahi dalam kehidupan dunia ini. Maka dari itu jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhir nya bersatu dengan Tuhan sangatlah panjang dan penuh duri.

-          Macam-Macam Maqamat
Pada mulanya seorang calon sufi harus taubat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Taubat yang dimaksud adalah taubat an-nasuha, yaitu taubat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walaupun sekecil apapun. Untuk memantapkan taubatnya ia pindah ke station kedua, yaitu zuhud. Di station ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
Sampailah ia ke station wara’. Di station ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat.  Dari station wara’, ia pindah ke station faqr. Di station ini ia menjalani hidup kefakiran. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke station sabar. Ia sabar dalam segala hal, bukan hanya dengan larangan tuhan tapi dengan cobaan-cobaannya. Ia sabar menderita.
Selanjutnya, ia pindah ke station tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Dari station tawakkal, ia meningkat ke station ridha. Dari station ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati.
Tahapan-tahapan itu disebut dengan maqamat (station). Bagi seorang salik, jalan yang dimaksudkan itu sangat sulit dan untuk pindah dari satu station ke station lain itu memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.

-          Kesimpulan
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa antara maqamat (tahapan-tahapan tasawuf) dengan ahwal (kondisi psikis dalam tasawuf), memiliki perbedaan segnifikan. Jika maqamat adalah tahapan yang mesti dilalui oleh seorang salik (pelaku tasawuf) berdasarkan pada tingkat pengalaman spiritual yang dijalaninya sehingga jumlah maqamat di kalangan sufi tidaklah selalu sama, maka ahwal adalah efek konsekuensi psikis, sebagai akibat dari perjalanan spiritual yang dilakoninya. Maqamat yang di lakukan  harus sesuai dengan urutan yang ditentukan oleh si salik sedangkan ahwal merupakan efek dari perjalanan maqamat tersebut, dan pemberian langsung dari Allah Swt sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, sifat ahwal itu mudah datang, pergi, dan temporer.
.

PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di paparkan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, mulai dari tingkatan paling mendasar hingga tingkatan tertinggi sedangkan Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt. Menyepi dan mengasingkan diri adalah syarat atau pondasi dalam melakukan maqamat. Dan al-maqamat dimulai dari maqam taubat sampai dengan yang terakhir yaitu maqam ridha.

Sedangkan pada buku pembanding milik Syamsun Ni’am dijelaskan bahwa maqamat secara bahasa artinya pangkat atau derajat, Sementara ahwal secara bahasa adalah kondisi atau keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal berarti persaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati. 

Rabu, 09 November 2016

(RESUME) Akhlak Tasawuf BAB 2: Metode Tazkiyah al-Nafs

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                            : 72154060
Prodi/Sem                    : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi           : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu          : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                 : Akhlak Tasawuf

TEMA                        : Epistemologi Tasawuf

BUKU 1                      : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku           : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 2 : Metode Tazkiyah al-Nafs
Kesimpulan

-         Metode Tazkiyah al-Nafs
Menurut Ja’far (39:2016), kaum sufi meyakini bahwa akal manusia masih memiliki kelemahan. Sekedar contoh, akal tidak mampu menyaksikan realitas spiritual, atau merumuskan konsep ibadah yang diinginkan Tuhan, tapi akal mampu memberikan bukti rasional bagi eksistensi Tuhan dan alam malaikat, atau merumuskan daya-daya psikologis manusia, dan membuktikan kepastian hari kiamat akan terjadi. Maka dari itu didalam epistemologi Islam dikenal dengan metode tazkiyah al-Nafs atau ‘irfani. Yaitu metode yang mampu membuat manusia untuk dapat menyaksikan realitas spiritual. Dalam epistemologi burhani, masih ditemukan jarak antara objek yang dipikirkan dengan subjek yang memikirkan, sedangkan dala epistemologi ‘irfani, tidak ditemukan jarak tersebut, karena telah terjadi persatuan antara objek yang dipikirkan dengan subjek yang memikirkan. Kisah petualangan al-Ghazali adalah gambaran penting dari keutamaan hati daripada akal.  
Pelaku yang melakukan metode tazkiyah al-nafs disebut sebagai orang-orang beruntung dan diberikan pahala serta keabadian surgawi menurut al-qur’an (Q.S. al-Syams/91:9 , Q.S. al-A’la/87:14 dan Q.S. Thaha/20:6). Dengan begitu, metode ‘irfani ialah metode yang memberikan keberuntungan dunia dan akhirat kepada penggunanya.
Metode ‘irfani ialah metode yang diterapkan oleh kaum sufi dalam islam dan mengandalkan aktivitas penyucian jiwa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan menilai bahwa ilmu hakiki hanya bisa diraih dengan cara mendekatkan diri kepada sang Maha Mengetahui, bukan dengan metode observasi atau eksperimen. Kaum sufi yang memiliki keyakinan seperti itu ialah al-Ghazali (w.1111), Ibn ‘Arabi (w.1240), Suhrawardi (w. 1191), dan Mulla Shadra (w.1640).
Karena al-Ghazali tidak puas, dan merasa gagal menemukan kebenaran dalam mazhab ahli teologi, mazhab ahli batiniah, dan mazhab kaum filsuf maka ia mencari sehingga dia menemukan mazhab kaum sufi dan metode tasawuf yang dapat diandalkan dalam menemukan kebenaran, serta menjauhkan diri dari keraguan. Bagi al-Ghazali kaum sufi itu ahli dalam menyaksikan, menyingkap berbagai rahasia ketuhanan. Dan mereka adalah manusia terbaik, bahkan al-Ghazali mengkritik bahkan meninggalkan mazhab-mazhab yang telah dipelajarinya dan mengikuti metode kaum sufi yang hanya akan meraih ilmu dan amal.
Al-Ghazali juga bahkan meninggalkan harta, tahta, dan keluarga yang dimilikinya untuk mempraktekkan semua metode kaum sufi dengan mengadakan khalwan selama 10 tahun. Menurut al-Ghazali mazhab dapat diwujudkan secara sempurna hanya dengan ilmu dan amal. Menurutnya juga, jiwa dan hati manusia menjadi rusak dan hancur jika manusia bersikap ateis dan mengikuti hawa nafsu, begitu juga sebaliknya.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah (w.1350) menyebut ilmu yang diraih oleh kaum sufi sebagai ‘ilm laduniyyun, yaitu ilmu yang di isyaratkan kepada ilmu yang diperoleh seorang hamba tanpa menggunakan sarana, tetapi berdasarkan ilham dari Allah dan di perkenalkan Allah kepada hamba-Nya.
Ilmu ladunni terdiri dari 2 macam yaitu dari sisi Allah dan dari sisi setan, dari segi derajat ‘ilm laduniyyun lebih berkualitas ketimbang ‘ilm al-hushuli, sebab ‘ilm al-hushuli harus di usahakan oleh manusia sedangkan ‘ilm al-hudhuri (‘ilm ladunni) diraih tanpa usaha dan merupakan pemberian lansung dari Allah SWT.

-         Kesimpulan
Kesimpulannya adalah metode tazkiyah al-nafs adalah salah satu metode penyucian jiwa atau metode ‘irfani dalam ilmu tasawuf. Metode tazkiyah al-nafs juga dapat menjadi jalan lain bagi ilmuwan muslim untuk memperoleh ilmu (ma’rifat). Metode ini sudah ada pada kaum sufi ysng selalu bersih hatinya dan tenang jiwanya.
Kaum sufi percaya bahwa akal masih memiliki kelemahan sehingga ilmu spiritual perlu di pelajari dan di terapkan pada kehidupan. Ilmu penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) diyakini mampu menutupi kelemahan metode burhani (rasional) sehingga menjadi seimbang.
Metode Tazkiyah al-Nafs ini juga punya sangkut paut dengan kisah petualangan al-Ghazali dimana dia meninggalkan mazhab kaum teolog, mazhab batiniah, dan mazhab filsafat rasional demi mazhab tasawuf yang dia rasa lebih bisa diandalkan dalam menemukan kebenaran dan menjauhkan diri dari keraguan. Keutamaan hati dari akal menjadi gambaran dari metode tazkiyah al-nafs secara keseluruhan.

BUKU 2                      : Akhlak Tasawuf (Buku Pembanding)
Identitas Buku           : Prof. Dr. Rosihon Anwar, M.Ag., (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)
Sub 3 : Tazkiyah an-Nafs
Kesimpulan

-         Tazkiyah an-Nafs
Menurut Rosihon Anwar (209:2016), Tazkiyah an-Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Inti dari kegiatan tasawuf ialah Tazkiyah an-Nafs. Kalangan sufi adalah orang-orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwa. Perwujudannya adalah rasa butuh terhadap Tuhannya.
Setiap orang yang mengingkan ilmu makrifat harus mengupayakan untuk melakukan penyerpunaan jiwa. Sebab ilmu makrifat tidak akan bisa diterima oleh manusia yang mempunyai jiwa yang kotor, ada 5 penghalang bagi jiwa dalam menangkap hakikat:
1.      Pertama, jiwa yang belum sempurna
2.      Kedua, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan maksiat
3.      Ketiga, menuruti keinginan badan
4.      Keempat, penutup yang menghalangi masuknya hakikat ke dalam jiwa (taqlid)
5.      Kelima, tidak dapat berpikir logis
Dalam konteks inilah, penyempurnaan jiwa dapat dilakukan dengan tazkiyah an-nafs.

-         Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, didapati kesimpulannya ialah kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu makrifat ke dalam jiwa, sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab dari Allah SWT. Tazkiyah an-Nafs dalam konsepsi tasawuf berdasar pada asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar objek materil. Kegiatan mengetahui sesungguhnya ibarat cermin yang menangkap gambar-gambar. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin bersangkutan. Begitulah jiwa menangkap ilmu-ilmu termasuk ilmu makrifat.

PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di paparkan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa metode tazkiyah al-nafs adalah salah satu metode penyucian jiwa dalam ilmu tasawuf. Metode tazkiyah al-nafs juga dapat menjadi jalan lain bagi ilmuwan muslim untuk memperoleh ilmu (ma’rifat). Metode ini sudah ada pada kaum sufi ysng selalu bersih hatinya dan tenang jiwanya. Kaum sufi percaya bahwa akal masih memiliki kelemahan sehingga ilmu spiritual perlu di pelajari dan di terapkan pada kehidupan. Ilmu penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) diyakini mampu menutupi kelemahan metode burhani (rasional) sehingga menjadi seimbang.

Sedangkan pada buku kedua karangan Rosihon Anwar dijelaskan bahwa kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu makrifat ke dalam jiwa manusia, sementara jiwa yang kotor, akan membuat manusia terhijab dari Allah SWT.  Keduanya buku ini memaparkan bahwa jika ingin mempunyai ilmu makrifat maka yang pertama kali kita harus lakukan adalah menyucikan jiwa kita terlebih dahulu.