Minggu, 13 November 2016

Akhlak Tasawuf : Al-Maqamat dan Al-Ahwal (BAB 3) -RESUME-

IDENTITAS
Nama                           : Geubrina Rizka Utami Sinaga
NIM                             : 72154060
Prodi/Sem                    : Sistem Informasi/3
Fakultas                       : Sains Dan Teknologi
Perguruan Tinggi          : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen Pengampu         : Dr. Ja’far, MA.
Mata Kuliah                 : Akhlak Tasawuf

TEMA                         : Al-Maqamat dan Al-Ahwal

BUKU 1                      : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku                        : Ja’far, (Medan: Perdana Publishing, 2016)
Sub 1 : Definisi
Sub 2 : Pondasi al-Maqamat
Sub 3 : Hierarki al-Maqamat
Kesimpulan

-          Definisi
Menurut Ja’far (48:2016), karya-karya sufi telah menunjukkan bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu dirancang sebagai media informasi bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab itu, para sufi menyusun teori mengenai usaha-usaha untuk menempuh perjalanan spiritual (thariqah) berupa tangga-tangga pendakian spiritual yang disebut al-maqamat. Hakikat al-maqamat biasanya juga diiringi kajian tentang ahwal, sebab keduanya tidak bisa dibahas secara terpisah. Dalam kitab al-Luma’, al-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang hamba dengan Allah SWT. Sedangkan al-ahwal adalah keadaan hati (qalb) seorang sufi sebagai akibat dari kemurnian zikirnya.
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat adalah tingkatan spiritual yang akan diraih salik dengan jalan mujahadah dan mengamalkan adab-adab, perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadhah. Menurutnya, seorang salik tidak akan dapat menaiki maqam selanjutnya sebelum berhasil menjalani dan memperoleh maqam sebelumnya.
Al-Qusyairi menjelaskan perbedaan al-ahwal dengan al-maqamat : “Al-hal menurut kaum (sufi) adalah makna yang hadir dalam hati tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan seperti gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, dan gemetar. Al-hal merupakan pemberian, sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha. Al-hal datang dari Allah ke dalam jiwanya (sufi), sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha dengan mujahadah secara terus menerus. Pemilik al-maqam memungkinkan dapat menduduki al-maqam secara tetap, sedangkan pemilik al-hal sering mengalami naik turun sesuai keadaan hatinya.” Al-ahwal merupakan pemberian Allah Swt. Kepada salik yang sedang menjalani beragam ibadah untuk menapaki satu persatu maqam dari yang awal sampai yang paling akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual yang mungkin dicapai seorang sufi.

-          Pondasi al-Maqamat
Dalam memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah, seorang salik harus melakukan khalwah dan ‘uzlah dalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju Allah Swt. Dalam Risalah al-Qusyairiyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa menyepi (khalwah) adalah sifat ahli sufi, dan mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung dengan Allah Swt.
Khalwah (menyepi) adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan al-Haqq. Sedangkan hakikat ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah menjaga keselamatan diri dari niat buruk orang lain. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan bahwa praktik mengasingkan diri memiliki banyak manfaat bagi seorang penempuh ilmu jalan spiritual. Pertama, dapat mengosongkan dirinya hanya dengan beribadah kepada Allah Swt. Kedua, dapat melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat yang biasa dilakukan dan dihadapi manusia selama hidup bermasyarakat seperti mengumpat, adu domba, dan pamer. Ketiga, membebaskan diri dari kejahatan-kejahatan manusia. Keempat, memutuskan diri dari kerakusan manusia dan kerakusan terhadap dunia. Kelima, membebaskan diri dari penyaksian atas orang-orang yang berperangai buruk dan bodoh. Keenam, menghasilkan ketaatan dalam kesendirian dan terlepas dari perbuatan tercela  dan larangan Allah Swt.
Selama berkhalwat, salik harus berusaha membebaskan diri dari seluruh gangguan indrawi, gangguan batin dan  mendisplinkan aspek-aspek hewani dalam dirinya sehingga ia tidak mengikuti kecendrungan kepada berbagai aspek tersebut. Dalam khalwah dan ‘uzlah, seorang salik harus menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Salah satu yang menjadi andalan seorang salik adalah zikir. Menurut ‘Umar Suhrawardi, seorang salik mengamalkan berbagai bentuk wirid yang terus menerus diulang oleh semua sufi, antara lain la ilaha illallah, ya Allah, ya Hu, ya Haqq, ya Hayy, ya Qayyum, dan ya Qahhar. Selain itu, seorang salik yang sedang berkhalwat harus dalam keadaan berwudhu, berpuasa, sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara, menafikan berbagai pikiran, dan terus beramal ibadah dengan menjalankan ibadah salat (wajib dan sunnah) dan zikir. Kebanyakan sufi mengadakan khalwah selama empat puluh hari, meskipun banyak sufi terus menerus melakukan khalwah dalam waktu bertahun-tahun.
Mengenai mujahadah, teori ini antara lain didasari oleh Q.S. al-‘Ankabut/29:69. Hasaan al-Qazaz, mengatakan bahwa “mujahadah dibangun atas tiga hal: tidak makan bila sangat butuh, tidak tidur kecuali mengantuk, dan tidak bicara kecuali terdesak.” Riyadhah dimaknai juga sebagai pembiasaan jiwa manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengarahkannya menuju kesempurnaan yang dapat dicapainya. Tujuan riyadhah adalah menghilangkan semua hambatan yang merintangi jalan menuju  Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang kepada akal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan membiasakan jiwa agar selalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt.
Para salik, tidak bisa tidak, harus mengamalkan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruh tingkatan al-maqamat dan dianugerahi al-ahwal.

-          Hierarki al-Maqamat
Para sufi telah merumuskan susunan al-maqamat dan al-ahwal secara berbeda, sebagai dampak dari perbedaan pengalaman spiritual mereka, bahkan sebagian sufi menerangkannya secara simbolis melalui novel-novel mistis yang sebenarnya menjelaskan perjalanan spiritual seorang salik menuju Allah Swt. Sekadar contoh mengenai al-maqamat, dari tingkat paling awal yang harus dilewati seorang salik sampai tingkat tertinggi yang mungkin dicapainya, al-Thusi (w.988M) menyebutkan bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan, dan menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi (w.1168) adalah al-intibah, al-taubah, al-inabah, al-wara’, muhasabah al-nafs, ridha, al-ikhlash, dan al-tawakkul. Al-Kalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah diawali dari tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakkal, kerelaan, cinta dan makrifat. Al-Qusyairi (w.1073 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, tawakal, sabar, dan kerelaan. Al-Ghazali (w. 1111 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, dan kerelaan.
Kaum sufi sepakat bahwa perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Allah Swt. Harus diawali dari tingkatan tobat sampai tingkat rida sebagai tingkatan spiritual tertinggi.

-          Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya adalah maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, mulai dari tingkatan paling mendasar hingga tingkatan tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt., yang diperoleh seorang salik secara mandiri yaitu melalui ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus. Sebagai catatan, salik ialah seseorang yang menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme islam untuk membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt.
Pondasi untuk bisa mencapai al-maqamat dan al-ahwal ialah dengan khalwah dan ‘uzlah yaitu dengan menyepi dan mengasingkan diri. Dengan begitu seorang salik dapat dengan mudah tersambung dengan Allah Swt. Hierarki pada al-maqamat mulai dari yang pertama ialah tobat dan yang terakhir ialah ridha, para sufi sepakat akan hal itu. Harus diketahui bahwa para sufi tidak memiliki rumusan yang sama mengenai al-maqamat, dan perbedaan tersebut lebih didasari oleh perbedaan pengalaman spiritual masing-masing.


BUKU 2                      : TASAWUF STUDIES : Pengantar Belajar Tasawuf (Buku Pembanding)
Identitas Buku                  : Dr. H,  Syamsun Ni’am, M. Ag. (Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014)           
Sub 1 : Perspektif Maqamat dan Ahwal
Sub 2 : Macam-Macam Maqamat
Kesimpulan

-          Perspektif Maqamat dan Ahwal
Menurut Syamsun Ni’am (137:2014), maqamat adalah bentuk jamak dari kata maqam yang secara bahasa berarti pangkat atau derajat. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang diperoleh melalui peribadatan, mujahadat, dan lain-lain. Latihan spiritual serta (berhubungan) yang tidak ada putus-putusnya dengan Allah Swt. Atau secara teknis maqamat juga berarti aktivitas dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan kedudukannya (maqam) di hadapan Allah Swt.
Sementara ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal , yang secara bahasa berarti kondisi, keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal berarti persaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya dzikir.
Bagi seorang penempuh tasawuf awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubat. Kedua ialah zuhud, ketiga wara’, keempat faqr, kelima sabar, keenam tawakkal, dan ketujuh ridha.
Itu semua hanya latihan untuk memasuki dunia sufistik. Untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri (takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai  ilahiah (tahalli), dan kemudian tajalli, atau merasakan manifestasi ilahi dalam kehidupan dunia ini. Maka dari itu jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhir nya bersatu dengan Tuhan sangatlah panjang dan penuh duri.

-          Macam-Macam Maqamat
Pada mulanya seorang calon sufi harus taubat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya. Taubat yang dimaksud adalah taubat an-nasuha, yaitu taubat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walaupun sekecil apapun. Untuk memantapkan taubatnya ia pindah ke station kedua, yaitu zuhud. Di station ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
Sampailah ia ke station wara’. Di station ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat.  Dari station wara’, ia pindah ke station faqr. Di station ini ia menjalani hidup kefakiran. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke station sabar. Ia sabar dalam segala hal, bukan hanya dengan larangan tuhan tapi dengan cobaan-cobaannya. Ia sabar menderita.
Selanjutnya, ia pindah ke station tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Dari station tawakkal, ia meningkat ke station ridha. Dari station ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati.
Tahapan-tahapan itu disebut dengan maqamat (station). Bagi seorang salik, jalan yang dimaksudkan itu sangat sulit dan untuk pindah dari satu station ke station lain itu memerlukan usaha yang berat dan waktu yang tidak singkat.

-          Kesimpulan
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa antara maqamat (tahapan-tahapan tasawuf) dengan ahwal (kondisi psikis dalam tasawuf), memiliki perbedaan segnifikan. Jika maqamat adalah tahapan yang mesti dilalui oleh seorang salik (pelaku tasawuf) berdasarkan pada tingkat pengalaman spiritual yang dijalaninya sehingga jumlah maqamat di kalangan sufi tidaklah selalu sama, maka ahwal adalah efek konsekuensi psikis, sebagai akibat dari perjalanan spiritual yang dilakoninya. Maqamat yang di lakukan  harus sesuai dengan urutan yang ditentukan oleh si salik sedangkan ahwal merupakan efek dari perjalanan maqamat tersebut, dan pemberian langsung dari Allah Swt sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, sifat ahwal itu mudah datang, pergi, dan temporer.
.

PERBANDINGAN           :
Dari kedua buku yang telah di paparkan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, mulai dari tingkatan paling mendasar hingga tingkatan tertinggi sedangkan Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt. Menyepi dan mengasingkan diri adalah syarat atau pondasi dalam melakukan maqamat. Dan al-maqamat dimulai dari maqam taubat sampai dengan yang terakhir yaitu maqam ridha.

Sedangkan pada buku pembanding milik Syamsun Ni’am dijelaskan bahwa maqamat secara bahasa artinya pangkat atau derajat, Sementara ahwal secara bahasa adalah kondisi atau keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal berarti persaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar