IDENTITAS
NIM : 72154060
Prodi/Sem : Sistem
Informasi/3
Fakultas : Sains Dan
Teknologi
Perguruan Tinggi : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN-SU)
Dosen
Pengampu : Dr. Ja’far,
MA.
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
TEMA : Al-Maqamat
dan Al-Ahwal
BUKU
1 : Gerbang Tasawuf (Buku Utama)
Identitas Buku : Ja’far, (Medan:
Perdana Publishing, 2016)
Sub
1 : Definisi
Sub 2 : Pondasi al-Maqamat
Sub 3 : Hierarki al-Maqamat
Kesimpulan
-
Definisi
Menurut Ja’far (48:2016),
karya-karya sufi telah menunjukkan bahwa tasawuf sebagai disiplin ilmu
dirancang sebagai media informasi bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Sebab itu, para sufi menyusun teori mengenai usaha-usaha untuk
menempuh perjalanan spiritual (thariqah)
berupa tangga-tangga pendakian spiritual yang disebut al-maqamat. Hakikat al-maqamat
biasanya juga diiringi kajian tentang ahwal,
sebab keduanya tidak bisa dibahas secara terpisah. Dalam kitab al-Luma’, al-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkatan antara seorang
hamba dengan Allah SWT. Sedangkan al-ahwal
adalah keadaan hati (qalb) seorang
sufi sebagai akibat dari kemurnian zikirnya.
Dalam Risalah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa al-maqamat adalah tingkatan spiritual
yang akan diraih salik dengan jalan mujahadah dan mengamalkan adab-adab,
perilaku, dan sikap tertentu, serta riyadhah.
Menurutnya, seorang salik tidak akan dapat menaiki maqam selanjutnya sebelum berhasil menjalani dan memperoleh maqam sebelumnya.
Al-Qusyairi menjelaskan
perbedaan al-ahwal dengan al-maqamat : “Al-hal menurut kaum (sufi) adalah makna yang hadir dalam hati tanpa
unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan seperti gembira, sedih,
lapang, sempit, rindu, gelisah, takut, dan gemetar. Al-hal merupakan pemberian, sedangkan al-maqamat merupakan hasil usaha.
Al-hal datang dari Allah ke dalam jiwanya (sufi), sedangkan al-maqamat
merupakan hasil usaha dengan mujahadah secara terus menerus. Pemilik al-maqam
memungkinkan dapat menduduki al-maqam secara tetap, sedangkan pemilik al-hal
sering mengalami naik turun sesuai keadaan hatinya.” Al-ahwal merupakan
pemberian Allah Swt. Kepada salik
yang sedang menjalani beragam ibadah untuk menapaki satu persatu maqam dari yang awal sampai yang paling
akhir sebagai puncak tertinggi dari kedudukan spiritual yang mungkin dicapai
seorang sufi.
-
Pondasi al-Maqamat
Dalam memperoleh maqam tertentu, selain wajib menjalankan
berbagai bentuk ibadah, mujahadah,
dan riyadhah, seorang salik harus melakukan khalwah dan ‘uzlah dalam melaksanakan perjalanan spiritual menuju Allah Swt.
Dalam Risalah al-Qusyairiyah,
al-Qusyairi menjelaskan bahwa menyepi (khalwah)
adalah sifat ahli sufi, dan mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung dengan Allah Swt.
Khalwah (menyepi) adalah pemutusan
hubungan dengan makhluk menuju penyambungan hubungan dengan al-Haqq. Sedangkan hakikat ‘uzlah (mengasingkan diri) adalah menjaga
keselamatan diri dari niat buruk orang lain. Dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, al-Ghazali menjelaskan bahwa praktik
mengasingkan diri memiliki banyak manfaat bagi seorang penempuh ilmu jalan
spiritual. Pertama, dapat
mengosongkan dirinya hanya dengan beribadah kepada Allah Swt. Kedua, dapat melepaskan diri dari perbuatan-perbuatan
maksiat yang biasa dilakukan dan dihadapi manusia selama hidup bermasyarakat
seperti mengumpat, adu domba, dan pamer. Ketiga,
membebaskan diri dari kejahatan-kejahatan manusia. Keempat, memutuskan diri dari kerakusan manusia dan kerakusan
terhadap dunia. Kelima, membebaskan
diri dari penyaksian atas orang-orang yang berperangai buruk dan bodoh. Keenam, menghasilkan ketaatan dalam
kesendirian dan terlepas dari perbuatan tercela
dan larangan Allah Swt.
Selama berkhalwat, salik harus berusaha membebaskan diri
dari seluruh gangguan indrawi, gangguan batin dan mendisplinkan aspek-aspek hewani dalam
dirinya sehingga ia tidak mengikuti kecendrungan kepada berbagai aspek
tersebut. Dalam khalwah dan ‘uzlah, seorang salik harus menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Salah satu yang menjadi andalan seorang salik adalah
zikir. Menurut ‘Umar Suhrawardi, seorang
salik mengamalkan berbagai bentuk wirid yang terus menerus diulang oleh
semua sufi, antara lain la ilaha
illallah, ya Allah, ya Hu, ya Haqq, ya Hayy, ya Qayyum, dan ya Qahhar. Selain itu, seorang salik yang sedang berkhalwat harus dalam
keadaan berwudhu, berpuasa, sedikit makan, sedikit tidur, sedikit bicara,
menafikan berbagai pikiran, dan terus beramal ibadah dengan menjalankan ibadah
salat (wajib dan sunnah) dan zikir. Kebanyakan sufi mengadakan khalwah selama empat puluh hari,
meskipun banyak sufi terus menerus melakukan khalwah dalam waktu bertahun-tahun.
Mengenai mujahadah, teori ini antara lain didasari oleh Q.S.
al-‘Ankabut/29:69. Hasaan al-Qazaz, mengatakan bahwa “mujahadah dibangun atas tiga hal: tidak makan bila sangat butuh,
tidak tidur kecuali mengantuk, dan tidak bicara kecuali terdesak.” Riyadhah dimaknai juga sebagai
pembiasaan jiwa manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
mengarahkannya menuju kesempurnaan yang dapat dicapainya. Tujuan riyadhah adalah menghilangkan semua
hambatan yang merintangi jalan menuju
Allah terutama kesenangan lahir dan batin; menundukkan jiwa binatang
kepada akal praktis yang mendorong jiwa dalam mencari kebenaran; dan
membiasakan jiwa agar selalu siap untuk menerima pancaran Allah Swt.
Para salik, tidak bisa tidak, harus mengamalkan ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah
dalam menyucikan jiwa mereka untuk dapat meraih seluruh tingkatan al-maqamat dan dianugerahi al-ahwal.
-
Hierarki al-Maqamat
Para sufi telah merumuskan
susunan al-maqamat dan al-ahwal secara berbeda, sebagai dampak
dari perbedaan pengalaman spiritual mereka, bahkan sebagian sufi menerangkannya
secara simbolis melalui novel-novel mistis yang sebenarnya menjelaskan
perjalanan spiritual seorang salik
menuju Allah Swt. Sekadar contoh mengenai al-maqamat,
dari tingkat paling awal yang harus dilewati seorang salik sampai tingkat tertinggi yang mungkin dicapainya, al-Thusi
(w.988M) menyebutkan bahwa tingkatan al-maqamat
adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, kerelaan,
dan menurut Abu al-Najib al-Suhrawardi (w.1168) adalah al-intibah, al-taubah, al-inabah, al-wara’, muhasabah al-nafs, ridha,
al-ikhlash, dan al-tawakkul.
Al-Kalabazi (w. 995 M) menulis bahwa tingkatan maqamat adalah diawali dari
tobat, zuhud, sabar, kefakiran, rendah hati, tawakkal, kerelaan, cinta dan
makrifat. Al-Qusyairi (w.1073 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, tawakal, sabar,
dan kerelaan. Al-Ghazali (w. 1111 M) menyebut bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat,
sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, cinta, dan kerelaan.
Kaum sufi sepakat bahwa
perjalanan spiritual jiwa manusia menuju Allah Swt. Harus diawali dari
tingkatan tobat sampai tingkat rida sebagai tingkatan spiritual tertinggi.
-
Kesimpulan
Kesimpulan dari seluruhnya adalah maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan
spiritual seorang sufi, mulai dari tingkatan paling mendasar hingga tingkatan
tertinggi, yaitu dekat dengan Allah Swt., yang diperoleh seorang salik secara mandiri yaitu melalui ‘ibadah, mujahadah, dan riyadhah secara terus menerus. Sebagai
catatan, salik ialah seseorang yang
menjalani disiplin spiritual dalam menempuh jalan sufisme islam untuk
membersihkan dan memurnikan jiwanya, yang disebut juga dengan jalan suluk. Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari
usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt.
Pondasi untuk bisa mencapai al-maqamat dan al-ahwal
ialah dengan khalwah dan ‘uzlah yaitu dengan menyepi dan
mengasingkan diri. Dengan begitu seorang salik
dapat dengan mudah tersambung dengan Allah Swt. Hierarki pada al-maqamat mulai dari yang pertama ialah
tobat dan yang terakhir ialah ridha, para sufi sepakat akan hal itu. Harus
diketahui bahwa para sufi tidak memiliki rumusan yang sama mengenai al-maqamat, dan perbedaan tersebut lebih
didasari oleh perbedaan pengalaman spiritual masing-masing.
BUKU 2 : TASAWUF STUDIES : Pengantar Belajar Tasawuf (Buku Pembanding)
Identitas Buku : Dr. H, Syamsun Ni’am, M. Ag. (Yogyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2014)
Sub 1 : Perspektif
Maqamat dan Ahwal
Sub 2 : Macam-Macam Maqamat
Kesimpulan
-
Perspektif Maqamat dan Ahwal
Menurut Syamsun Ni’am (137:2014),
maqamat adalah bentuk jamak dari kata
maqam yang secara bahasa berarti pangkat
atau derajat. Sementara menurut istilah ilmu tasawuf, maqamat adalah kedudukan seorang hamba di hadapan Allah, yang
diperoleh melalui peribadatan, mujahadat, dan lain-lain. Latihan spiritual
serta (berhubungan) yang tidak ada putus-putusnya dengan Allah Swt. Atau secara
teknis maqamat juga berarti aktivitas
dan usaha maksimal seorang sufi untuk meningkatkan kualitas spiritual dan
kedudukannya (maqam) di hadapan Allah
Swt.
Sementara ahwal adalah bentuk jamak dari kata hal , yang secara bahasa berarti kondisi, keadaan. Menurut istilah
ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin),
hal berarti persaan yang menggerakkan
dan memengaruhi hati yang disebabkan karena bersihnya dzikir.
Bagi seorang penempuh tasawuf
awal, langkah pertama yang harus dilakukan adalah taubat. Kedua ialah zuhud,
ketiga wara’, keempat faqr, kelima sabar, keenam tawakkal, dan ketujuh ridha.
Itu semua hanya latihan untuk
memasuki dunia sufistik. Untuk memasuki pintu tasawuf, atau sufi, ada beberapa
tahapan yang lebih tinggi dari sekedar membersihkan atau mengosongkan diri
(takhali), mengisinya kembali dengan nilai-nilai ilahiah (tahalli), dan kemudian tajalli, atau
merasakan manifestasi ilahi dalam kehidupan dunia ini. Maka dari itu jalan yang
ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan
akhir nya bersatu dengan Tuhan sangatlah panjang dan penuh duri.
-
Macam-Macam Maqamat
Pada mulanya seorang calon sufi
harus taubat dari dosa-dosa besar
yang dilakukannya. Taubat yang
dimaksud adalah taubat an-nasuha,
yaitu taubat yang membuat orangnya
menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi
walaupun sekecil apapun. Untuk memantapkan taubatnya
ia pindah ke station kedua, yaitu
zuhud. Di station ini ia menjauhkan
diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia
Sampailah ia ke station wara’. Di station ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dari station
wara’, ia pindah ke station faqr.
Di station ini ia menjalani hidup
kefakiran. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke station sabar. Ia sabar dalam segala hal, bukan hanya dengan
larangan tuhan tapi dengan cobaan-cobaannya. Ia sabar menderita.
Selanjutnya, ia pindah ke station tawakkal. Ia menyerahkan diri
sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Dari station tawakkal, ia meningkat ke station ridha. Dari station
ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang
hati.
Tahapan-tahapan itu disebut
dengan maqamat (station). Bagi
seorang salik, jalan yang dimaksudkan
itu sangat sulit dan untuk pindah dari satu station
ke station lain itu memerlukan usaha
yang berat dan waktu yang tidak singkat.
-
Kesimpulan
Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa antara maqamat (tahapan-tahapan
tasawuf) dengan ahwal (kondisi psikis
dalam tasawuf), memiliki perbedaan segnifikan. Jika maqamat adalah tahapan yang mesti dilalui oleh seorang salik (pelaku tasawuf) berdasarkan pada
tingkat pengalaman spiritual yang dijalaninya sehingga jumlah maqamat di kalangan sufi tidaklah selalu
sama, maka ahwal adalah efek
konsekuensi psikis, sebagai akibat dari perjalanan spiritual yang dilakoninya. Maqamat yang di lakukan harus sesuai dengan urutan yang ditentukan
oleh si salik sedangkan ahwal merupakan efek dari perjalanan maqamat tersebut, dan pemberian langsung
dari Allah Swt sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, sifat ahwal itu mudah datang, pergi, dan
temporer.
.
PERBANDINGAN :
Dari kedua buku yang telah di
paparkan diatas yaitu buku pertama karangan Ja’far dijelaskan bahwa maqamat itu ialah tingkatan-tingkatan spiritual seorang sufi, mulai dari
tingkatan paling mendasar hingga tingkatan tertinggi sedangkan Al-ahwal merupakan keadaan hati seorang salik yang bukan merupakan hasil dari
usahanya melainkan hasil dari pemberian Allah Swt. Menyepi dan mengasingkan
diri adalah syarat atau pondasi dalam melakukan maqamat. Dan al-maqamat dimulai dari maqam taubat sampai dengan yang terakhir yaitu maqam ridha.
Sedangkan pada buku pembanding milik Syamsun Ni’am dijelaskan bahwa maqamat secara bahasa artinya pangkat atau derajat, Sementara ahwal secara bahasa
adalah kondisi atau keadaan. Menurut istilah ilmu tasawuf (‘ind al-mutashawwifin), hal
berarti persaan yang menggerakkan dan memengaruhi hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar